Home » Archives for May 2010
Monday, May 24, 2010
Sunday, May 2, 2010
Berita untuk Kawan
Saya bersyukur bisa pulang ke kampung kelahiran hari ini. Dari sejak sore tadi sudah saya siapkan segala sesuatunya. Wajah ibu rasanya semakin dekat bisa saya lihat senyatanya.
Sekitar pukul delapan, saya sudah menunggu travel jemputan. Perasaan saya masih acak, merasa waswas dan tak wajar. Saya juga heran mengapa begini.
Tak disangka, penantian saya disambut hujan deras. Tercurah banyak disertai angin kencang.
Gusti yang menemani saya juga jadi ikut khawatir, ia akhirnya turut mendoakan agar tak terjadi hal-hal yang tak diinginkan. Karena bangku panjang yang kami duduki dihajar hujan, jadilah kami berpindah tempat menuju angkringan dekat kos sambil menunggu jemputan. Gusti memang berniat membeli nasi kucing untuk jatah makan malamnya di situ.
Malam semakin larut, bebunyian klakson khas travel juga belum terdengar. Tambah lagi, hujan semakin deras seperti mencegah saya mati-matian. Ah, ada apa sebenarnya...
Sementara pikiran saya mulai berburuk sangka, mata saya tertumbuk pada bapak penjaga angkringan. Beliau menyalakan radio jadulnya untuk mengusir diam. Kecemasan kami juga perlahan mulai hilang, diganti oleh cuap-cuap soal sms kawan lama kami.
Agar air hujan tak masuk, bapak ini menutup celah angkringan oleh plastik besar. Syukurlah, plastiknya mampu menahan semburan air sehingga tubuh kami tetap kering dan hangat.
Lama saya perhatikan, bapak ini sudah renta. Kerutan mukanya jelas, tak lagi segar karena usia. Beliau hanya memakai baju lengan pendek, dengan rangkapan celemek lusuh. Apa tak kedinginan, Pak?
Sebentar-sebentar pandangan saya menjelajah setiap sudut tempat kecil ini. Tak ada jaket, sarung ataupun selimut. Hanya radio mini menggantung di salah satu kayu penopang, melirihkan lagu Ebith G. Ade "Berita kepada Kawan".
Baru saya sadari, betapa sebuah penantian sangat berharga untuk sedikit orang. Bapak angkringan ini misalnya.
Bukankah menunggu pelanggan memang sudah jadi sumber uangnya? Kalau ia bosan lalu meninggalkan dagangannya begitu saja, bagaimana ia menjemput rezekinya?
Saya bukan mau membahas itu, tapi saya mempertanyakan apa rasanya menunggu dalam kesendirian hanya ditemani radio yang tak bisa diajak ngobrol.
Sebelum hujan tadi, warung-warung makan masih buka ditemani lampu-lampu rumah yang memeriahkan jalanan. Namun begitu hujan, serentak mereka membumikan diri, menikmati anugerah yang tercurah dari langit bersama keluarga masing-masing. Seketika itupun, sinar-sinar lampu pun menghilang, hanya ikut berbagi dari celah-celah saja.
Apa tak kesepian, Pak? Saya membatin demikian. Dua orang lelaki datang dalam waktu yang tak sama. Syukurlah, setidaknya beliau tak sendirian. Tapi tetap saja tak tega rasanya melihat mereka yang masih tegap begitu memesan makanan dari orangtua. Pemandangan seperti ini seakan-akan mengejek ketidakmampuan anak muda mengurus diri saja. Saya makin bertanya-tanya, kemana anak-anakmu, Pak? Mengapa memilih buka pada malam yang sepi dibandingkan siang yang ramai orang? Mengapa tak mencoba usaha lain yang mungkin lebih baik?
Tapi ya... inilah hidup dan pilihan, siapapun penjualnya, dia harus siap menjadi seorang pelayan bagi para pelanggannya. Kalau ingin enak, lahirlah dari keluarga kaya raya. Toh itupun bukan jaminan mendapat kebahagiaan, ya kan?
Saya memimpikan sebuah negeri yang masyarakatnya mencintai kemanusiaan. Semuanya selalu menyumbang senyum walau selintas sapaan. Semuanya membantu sesama tanpa ada beban yang menghimpit hatinya. Semuanya meneguhkan ketika ada yang terjatuh, dan mengingatkan ketika terlupa. Semuanya 'melihat' sehingga mata hatinya selalu terbuka lebar, tak ada lubang untuk membatukan hati.
Mereka mencintai pemimpinnya yang selalu memastikan bahwa keadilan telah memayungi rakyatnya.
Mereka saling mendoakan, merebut perhatian para malaikat (agar turut mendoakan) seperti nabi-nabi yang merebut perhatian Raja Semesta...
Kapan ya?