Home » Archives for December 2010
Thursday, December 30, 2010
East of my world...
Monday, December 27, 2010
Friday, December 24, 2010
Takdir Peri Ketigabelas
Peri ketigabelas merenungi nasibnya. Singgasana kecil ini serasa makin sempit, seakan menciut dan mengerut. Matanya mengarah ke luar jendela. Rasa sesak memenuhi paru-paru menyaksikan bagaimana penduduk bumi memusuhinya. Walau sudah berabad lalu ia mengutuk seorang putri kerajaan, ia masih amat dibenci hingga kini.
Sempurna selalu mengikuti sang putri. Ia dicipta tak hanya amat cantik bak bidadari bermata manik, tapi juga bermoral mulia seperti malaikat. Kini ia tengah bahagia dengan pangeran tampan dari negeri seberang.
Mereka dieluk-elukkan rakyat, tanpa pernah berdoa kebaikan untuk seorang peri yang tak dipedulikan keberadaannya.
Masih di dunia yang sama, si peri menerawang pengap. Menengadah ingin melihat kesibukan Brothers Grimm memperkaya keadaan mereka atas keberhasilannya mempersatukan sang putri dan pangeran berkuda putih. Mungkin juga tengah syukuran atas si peri yang akhirnya tersingkir dari singgasana dunia.
Tahukah kamu apa itu singgasana terindah di dunia ini? Yaitu singgasana yang bila kamu miliki akan membuat gembira siapapun: HATI, dan kursinya adalah kasih sayang.
Dongeng adalah dunia dimana kamu tak dapat merubah nasibmu di tangan pengarang, dan tak dapat mengubah dirimu ketika peran antagonis harus kamu perankan.
Si peri memandang penuh amarah pada Grimm, mencela dan memaki mereka habis-habisan. Mereka telah egois menetapkan hal baik dan buruk seperti hitam dan putih, persis seperti malaikat dan setan. Sialnya, peran setan itulah yang terlempar pada peri ketigabelas. Hingga saat ini, para manusia beranggapan bahwa tigabelas adalah angka sial.
Lelah mencerca, si peri terduduk lelah di kursi reotnya di depan perapian. Tangan kecilnya memukul-mukul satu-satunya kitab yang ia miliki. Padahal ia tahu, hanya di sanalah takdirnya digariskan.
Hantaman pada bukunya terhenti, si peri sudah letih. Ia kembali tenang di depan perapian. Terlihat setitik air menetes dari sudut matanya, lalu meluncur membasahi kitabnya.
Hidup pendek peri ketigabelas takkan pernah singgah--apalagi bermuara di singgasana itu. Betapa tak adilnya sang pengarang menakdirkan dongengnya: mencitrakan segala kebaikan untuk sang puteri, sementara kejahatan harus pekat menguntit si peri.
Sementara si peri tak punya tempat berlari, iapun tak pernah diizinkan singgah di hati manusia-manusia itu. Padahal, ia sendiri memiliki hati untuk mendengki..
Sederet huruf emas mengilat diterpa cahaya api. Tertera jelas sebaris frase kitab takdir si peri:
PUTRI TIDUR.
.
.
.
.
.
.
.
.
Tamatlah riwayat peri ketigabelas tanpa kematian. Dunia kita dunia fana yang real, ia amat sulit diterka akhir kisahnya. Betapa beruntung kita menjadi makhluk yang dimuliakan oleh Sang Kreator paling berkuasa: Tuhan.
Manusia itu makhluk abu-abu, putih itu malaikat dan hitam adalah setan.
Kita bisa saja berlaku malaikat ataupun setan :)
Jangan lupakan juga bahwa hidup itu warna-warni, dan Allah amat tahu bagaimana hujan yang tercurah berpadu dengan matahari untuk melukiskan gradasi pelangi.
Berbahagialah kita yang tak hidup dalam dunia dongeng. Kita adalah pemain fakta yang pencapaiannya bisa amat beraneka cipta.
Kita berbudaya untuk dunia sendiri, kita menjadi peradaban, kemudian bersiaplah kita menjadi sejarah mencengangkan di tiap-tiap masa.
.
.
.
Selamat memperbaiki diri.
1 Muharram 1432 H.
Ketika Berada di Titik Jenuh...
Tiba-tiba kok ingat zaman SMA dulu. Berat rasanya ketika masuk jurusan yang tak saya sukai. Terlebih lagi, nyaris semua 'musuh' pelajaran saya di situ semua.
Tapi yang masih jadi keheranan saya sampai saat ini adalah mengapa menulis apapun saat itu terasa jauh lebih mudah ketimbang sekarang? Padahal kalau dipikir-pikir, waktu luang saat kuliah itu jauh lebih banyak. Bukankah semestinya bisa lebih produktif ya?
Agak tercenung juga saat teman sekelas saya dulu mengutarakan kebiasaan saya saat di kelas.
"Kamu tuh, kalau keliatannya lagi jenuh... udah pasti ambil buku dari kolong meja, terus oret-oretan, entah jadi gambar atau tulisan. Dan kalau sedang bertapa begitu, ga bakalan aku sapa soalnya percuma: pasti kamu ga bakal noleh kecuali ditepok dulu."
Sebenarnya tak perlu heran karena saya sendiri merasa begitu. Tapi ya tetap saja saya merasa tak enak, membayangkan sudah berapa orang yang saya cuekin selama sekolah? Apa saya semi-autis?
Stop.. lupakan itu, kembali ke curhat hobi.
Kali ini kaitannya dengan membaca. Dulu saat masih SD, saya tak suka baca tuh. Kecuali saat dengan terpaksa jaga toko, teman satu-satunya yang secara refleks saya ambil hanyalah buku cerita rakyat demi membunuh kebosanan. Tapi ketidaksukaan-membaca ini juga kurang tepat, wong tiap mampir ke rumah Neng Astri, mata saya pasti melirik ke tumpukan majalah Bobo langganannya. Percaya atau tidak, begitu saya duduk di tepi kasurnya, dia berkomentar langsung, "Tuh tuh, kalau Vera maen ke sini, pasti tangannya ngambil majalah Bobo deh."
*maap ya saya suka towel-towel majalahmu, Stri. Dulu pan saya masih polos banget :D*
Sampai sekarangpun, masih saya ingat dia berkomentar begitu. Kalau diingat-ingat, saya jadi malu karena terkesan kurang bahan bacaan padahal Apak berdagang buku.. *alesan padahal males baca buku nonfiksi*
Akhirnya saya utarakan keinginan saya untuk berlangganan majalah Bobo pada Mamah. Sip, beliau setuju juga walau beberapa tahun kemudian berhenti langgan karena harganya yang kian mahal *cry*cry*cry*
Hobi yang sedang gandrung-gandrungnya saya senangi ternyata harus di-cut paksa. Mungkin itu pertama kalinya saya merasa kecewa berat. Karena itu jugalah saya mesti bolak-balik ke cerita-cerita rakyat dan perdongengan ala barat.
Semuanya khatam saya baca walaupun tak sampai ingat runut alur cerita. Mungkin Sangkuriang yang tertukar sama Roro Jonggrang, atau Timun Mas sama Thumbelina. Lebih parah lagi Putri Salju bisa saja dimerger sama Lutung Kasarung *ini mah enggak ding *.
Awal semester masih mending saya hamburkan uang demi pinjam buku di rental ketimbang kuliner wisata di Jogja *nah kan, ketauan katroknya saya kenapa sering nyasar*. Sampai-sampai rela nyewa Harry Potter ke-5 seharga Rp15000 dalam sehari. Benar-benar khusyuk baca itu novel seharian sampai nyaris tak ngobrol dengan seorangpun anak-anak kos. Yang penting, malam esoknya saya bisa mengembalikan buku itu. Beuu... datang-datang saya dikeprokin penjaga rentalnya *sambil lirik orang yang antre mau minjem buku itu, heuheu ya maap, kelamaan nunggu ya Mas?*.
Berbalik keadaan dengan semester akhir ini yang sebenarnya punya tabungan yang lumayan dan waktu luang yang hebat, kenapa justru ghirah baca saya turun dengan drastis?
Fadhillah Amal yang sudah dikopi tahun kapan juga belum saya tamatkan. Lalu, novel kecil Pak Jostein Gaarder saja belum tamat! (padahal jatahnya cuma 2 minggu peminjaman, minggu ini mesti balik)
Padahal dulu baca Dunia Sophie saja tak sampai seminggu *tentu dengan ngelewat-lewatin ajaran filsafatnya :p*
Ada apa dengan saya ya...?
Maaf catatan saya kali ini hanya curhat lepas yang tak bermanfaat buat kalian yang baca *sayang sekali ya, kenapa juga kalian baca?*.
Mungkin ini juga kali pertama saya membuat sebuah curahan hati tentang diri sendiri. Dulu anggapan saya, menulis diri sendiri itu seperti mengungkap aib secara gratis pada pembacanya *nah, rugi kan?*. Mungkin ini juga jadi alasan kenapa orang bilang saya perlu membuka hati. Ah mana saya tahu buka hati itu seperti apa.. :D
Sekarang mungkin sudah ketahuan sebagian aib saya. Ah tak apalah, saya sedang ingin menulis apa yang ujug-ujug terlintas saja. Kalau saya curhat, tak apa-apa kan?
Setidaknya sekarang saya sudah merasa agak 'lepas' *fyuh
11.21 pm
13 Desember 2010
Tuesday, December 21, 2010
Tuesday, December 14, 2010
Menunggu Hadirmu
Duhai kau yang tak pernah lagi kudengar,
apa kabarmu di sana?
Masih kuingat jelas
kau berpeluh ketika kusentuh
Manis, meski kau hijau dan suci seputih salju..
Mengapa begitu lama tak melintas di terasku?
Tahukah tanpamu malamku hampa, siangku lesu
Hanya karena terbayang siluetmu
Siulanmu membangkitkan semangatku
Wangimu sejati takkan ada yang menyamai..
Oh sayang,
datanglah padaku segera
aku tersiksa karenamu.....
Putu.
14 Desember 2010
semoga masih ada putu di zaman ini, semoga keinginan saya makan putu bisa terlaksana secepatnya. Aamiin.
Monday, December 13, 2010
Saturday, December 4, 2010
Hah... menikah...?
Kapan saya dewasa…
Saya ditelepon, diceritakan seorang wanita paruh baya mengenai pernikahan yang akan dijalani kakak lelaki semata wayang saya. Merencanakan sebuah pernikahan pertama dalam keluarga kami semestinya merupakan hal baru yang membikin anggota keluarga jadi amat antusias. Lain halnya dengan saya: santai dan tak berpikir macam-macam mengenai persiapan pernikahan si aa.
“Kita persiapkan biasa saja ya, Teh. Mamah khawatir kalau nanti ada kedatangan tamu yang akan berniat baik pada Teteh ke rumah dalam waktu dekat, sehingga Mamah juga harus bersiap-siap mengadakan dua hal sakral yang nyaris bersamaan…”
Deg. Ada perasaan tak rela saat kata-kata itu keluar dari mulut seorang ibu. Tak rela melepas diri menuju tanggungjawab yang lebih besar, tak rela ketika anak kecil dalam raga inipun sudah saatnya memudar, tak rela juga saat usia seorang wanita begitu menghimpit dan harus mulai terikat pada sebuah ikatan pernikahan.
Mamah yang seharusnya lebih memperhatikan pernikahan kakak saya saat-saat ini, mengapa justru memusingkan pernikahan saya kelak? Padahal sungguh, berkali-kali saya katakan bahwa belum pernah ada hubungan serius apapun ketika saya bergaul dengan teman-teman.
“Kamu sudah kepala dua, Teh. Untuk wanita seumuranmu sekarang ini, adalah wajar sudah memiliki calon pendamping, dan sudah amat pantas untuk menikah…”
Ah Mamah, belum juga saya membaktikan diri kenapa umur rasanya cepat sekali menjadi tua? Saya belum apa-apa pada keluarga, bagaimana lagi kalau saya punya keluarga yang baru??
28 November 2010… dua teman kuliah saya menikah pada tanggal tersebut. Alhamdulillah, pada akhirnya mereka benar-benar bersanding di pelaminan yang insyaallah disukaiNya. Barakallahu ya temans.
Tak cuma santapan nikmat yang tersaji, foto-foto yang mengantri, juga souvenir yang diminati, tetapi juga ajang reuni bagi kami para mahasiswa PBI yang tak lagi saling menanti. Apa pasal? Tak semua mahasiswa PBI mengambil sertifikasi khususon yang disediakan oleh jurusan karena hukumnya sunnah, sehingga kelulusan kami tak bisa serempak bersama-sama.
Senang rasanya bisa bertemu dengan teman-teman ketika masih aktif kuliah dulu (walau tak semuanya bisa ditemui). Dengan begitu, saya jadi tahu keadaan mereka setidaknya sampai hari tersebut.
Lichun (nama disamarkan) yang menikah beberapa bulan lalu tengah berbadan dua, begitu pula dengan Hessy. Sempat saya menggandeng lengan Lichun sambil berhati-hati jangan sampai membuatnya tak nyaman… :hadeh, jadi parno duluan:
Saya pandangi dia barang satu-dua bentar lamanya… lalu menyadari ternyata teman saya yang manis ini telah memasuki masa kedewasaannya sebagai seorang wanita SEUTUHNYA. Kelak ketika buah hatinya lahir, Lichun mau tak mau harus siap menjadi seorang ibu.
Tak hanya Lichun, Hessy teman saya yang cantik juga datang bergandengan dengan suaminya, juga punya perubahan yang sama: siap menjadi seorang ibu.
Memandangi keduanya membuat saya sedih, setidaknya saya menyadari bahwa saya tertinggal oleh hal penting; berubah. Saya bukannya tak ingin berubah, tetapi melangkahkan kaki menuju sana agaknya masih butuh keberanian besar bagi saya.
Rasanya ada ketakutan sendiri ketika memikirkan sebuah pernikahan. Saya tak pernah berpikiran bahwa menikah adalah hal yang mudah. Saya akan dituntut komitmen dalam rumahtangga. Kalau rumahtangga katanya diibaratkan seperti kapal di tengah samudera, berarti awaknya harus siap menjadi kompas ketika nahkoda tengah mabuk dan hilang arah. Dan satu hal yang masih menjadi keraguan terbesar saya: mampukah saya?
Perkara menikah bukan main-main, begitu selalu kata hati saya. Saat teman-teman wanita saya mendambakan pernikahan dengan pria ideal idaman mereka, mengapa saya masih ketakutan menghadapi hal sakral yang katanya membahagiakan itu?
Pernah juga saya memaklumi diri, mengapa begini santainya saya menuju masa depan yang ‘berbeda’? Padahal saya akui umur saya mungkin saja tinggal menunggu detik ke sekian. Uyie bilang, “Kalau bisa, menikahlah sebelum umurmu menginjak 25 tahun.” Ingin rasanya menjerit, mengapa bisa secepat itu?
Hati saya belum mantap benar…
Mungkin Uyie ada benarnya saat berkata, "Buka hatimu, Neng..." Ya ya ya bilang seperti itu mudah saja, tapi bagaimana lagi kalau memang belum siap?
Tapi percayalah Mah, saya masih takut menikah.
Wisuda Gusti 2 Desember 2010
Memang banyak pemandangan indah kalau pergi ke wisudaan...
Buat Gustika Sari, congrats atas kelulusan dan kelolosan CPNSnya. Walau perjumpaan kita singkat di Jogja, semoga perjuangan kita dalam ikut mencerdaskan anak bangsa tetap ada walau tak lagi bersama.
Semoga persaudaraan erat ini selalu terjaga :')