Ya sudahlah, Writing Challenge-nya saya bikin semaunya saja ... ternyata sehari 1 postingan itu susah juga kalau baru memulai -__-
source |
Pas nih buat challenge berikutnya.
Tanggal 23 Desember yang lalu saya baru nonton film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (berikutnya disingkat TKVDW). Diambil dari salah satu buku era 1930-an karya Buya Hamka, film ini sukses membuat saya menyesal.
Awalnya penyesalan saya ialah liat jejeran pamflet jadwal tayang bioskopnya. Dilihat antara Soekarno dengan TKVDW, jelas saya ambil yang non-kontroversial, bisa dosa kalau terpengaruh sejarah yang keliru *alesan :p
Begitu tiket diambil dan berbalik kanan, ada EDENSOR! Aish, benar-benar nyesel ... karena nunggu barang sehari saja (Edensor tayang tanggal 24-nya) bukan hal besar. Saya dan suami sengaja menonton karena lusanya suami berangkat ke lapangan lagi.
Film ini berkisah mengenai Zainuddin yang merantau ke tanah kelahiran ayahnya di Minang. Dalam menuntut ilmu selama di sana, dikisahkan ia terkucilkan lantaran ia dianggap bukan keturunan Minang lantaran ibunya berasal dari bugis (Minang menganut sistem matrilineal alias garis keturunan ibu). Namun demikian, orang-orang mengenalnya sebagai pemuda berhati emas dan santun terhadap siapapun.
Zainuddin jatuh hati pada Hayati. Akan tetapi karena adat budaya, cinta mereka tak bisa bersatu. Lamaran Zainuddin ditolak dan Hayati dijodohkan dengan pemuda kaya bernama Aziz.
Inti dari film ini adalah kasih tak sampai (nyawa di ujung maut), dikarenakan oleh adat istiadat, tradisi dan juga latar belakang sosial. Saya kira penulis cerita ini tengah mengritik keadaan yang terjadi di masyarakatnya di masa itu. Dimana Minang itu setahu saya kental dengan ilmu agamanya, tentu saja Islam jadi sorotan. Tapi mengapa dalam hal ini Islam (sepertinya) dikesampingkan? Restu memang nomor satu, akan tetapi pertimbangan soal milih kriteria calon suaminya itu lho ... *ya baiklah di-skip saja ngobrolin ini
Kening saya berkerut juga saat musik Nidji mendominasi soundtrack film ini. Kurang pas rasanya ketika sesuatu yang klasik dipaksakan berkolaborasi dengan sesuatu yang pop, tapi saya kasih jempol untuk beberapa pilihan musik seriosa berirama begitu latar Belanda muncul.
source |
Tokoh utama film ini, Zainuddin, justru sukses bikin saya tepok jidat berkali-kali. Agaknya memilih Herjunot itu keputusan yang salah. Karakter Zafran dalam film 5 CM sudah melekat kuat, sehingga boro-boro mau menghayati setiap kata-kata puitis, penonton malah tertawa-tawa. Beberapa adegan terlihat berlebihan sehingga kesan marah malah seperti ngotot.
Sedikit curcol, mungkin ada baiknya tak ikutan latah ... bahwa menonton film yang diprediksi bakal booming itu ada baiknya ditonton beberapa hari setelah tayangan perdana. Hal menyebalkan selama film berlangsung adalah hilangnya mood sepanjang durasi film karena mbak-mbak sebelah saya berisik dengan timpalan-timpalannya sepanjang dialog tokoh. Bukan isak tangis karena melihat adegan yang harusnya menyayat hati, yang ada malah koor tawa dari para penonton.
Memang jadinya kurang greget sih, tapi efek bioskopnya tetep dapet kan? :D