Belakangan ini saya sering diceritakan pengalaman mbak kos saya, Mbak Nopek. Alhamdulillah walau nyaris beberapa bulan dia nganggur, akhirnya dia mendapat pekerjaan impiannya sebagai pengajar di sebuah SD Islam di Bandung. Walaupun ia lulus sebagai sarjana pendidikan bahasa Jerman, di sana ia diminta mengajar bahasa Inggris.
Ketika kelasnya ribut minta ampun, Mbak Nopek hanya diam sambil ambil kontak mata dengan anak-anak didiknya. Biasanya, jika salah seorang anak sudah 'merasa' bahwa gurunya ingin mereka diam, dia akan berteriak pada teman-temannya agar diam dan duduk di bangku masing-masing.
Dan setelah keramaian itu terhenti, anak-anakpun menggoda Mbak Nopek,
'He he, bu guru marah, bu guru maraaah...!' Sambil keprok-keprok tangan, tanpa tahu Mbak Nopek sudah panas dingin ingin menjerit sekencangnya :D
***
Mbak Nopek menandai seorang anak perempuan paling badung di kelasnya. Pembawaannya tak ingin diam, sehingga ia sering lari ke sana ke mari mengitari ruang kelas. Merasa hal ini perlu ditindak, Mbak Nopekpun menegurnya.
'Dik, jangan lari-lari terus, nanti yang lainnya keganggu.'
'Biarin.'
'Nanti Bu Guru hukum Adik, lho.'
'Hukum aaajah, Adik pernah ditaro di atas lemari tuh...'
Usut punya usut, ternyata yang melakukannya langsung sang kepala sekolah sendiri.
Mbak Nopek melongo, masih penasaran membayangkan bagaimana caranya anak bertubuh subur itu ditaruh di atas lemari kelas yang tinggi itu...?
***
Tak masalah ketika Mbak Nopek bersunda-ria bersama saya, karena yang akan menyesuaikan diri adalah saya. Dibesarkan di lingkungan Jawa tak membuat Mbak Nopek tak mampu berbahasa Sunda *ibunya tinggal di Bandung.
Namun tetap saja, kemampuan berbahasa tetap diuji saat ia mengajar di sekolah. Suatu hari, ia diminta mengajar kelas 6. Seorang anak bertanya,
'Bu, mun anclup apa Bu bahasa Inggrisna?'
'Anclup?' (memasukkan sesuatu *biasanya ke dalam air*)
'Ngojai atuh ga tau anclup mah...' (renang atuh ga tau 'anclup' mah)
Capede, batin Mbak Nopek sambil nahan emosi.
Heu heu, sabar ya Mbak. Walau bagimu mengesalkan, tapi bagi saya adalah ladang cerita yang menarik ^^
Home » Archives for October 2010
Thursday, October 21, 2010
Balada anak SD
Tuesday, October 19, 2010
Rumah Kita Penuh Cinta
gambar
oleh: Hasta Indriyana
Rumah kita penuh cinta. Ikat-ikat jagung
Di lelangit, gerumbul padi di lumbung, juga
Tumpukan kayu. Tak ada cerobong, tapi asap dapur
Berkepul senantiasa
Air yang cukup tersimpan di gentong. Pelepas haus
Ketika kita rindu bertemu
Anugerah ini seperti tatap matamu yang menyimpan
Sejuta kerindangan. Tak henti-henti mengalirkan
Dzikir hakiki
Rumah kita dipenuhi cinta. Sesekali tikus-tikus
Kecil lewat sesekali kekupu masuk tanpa merasa
Salah alamat sesekali berseliweran isyarat-isyarat
Atap ini bukan buat sembunyi tapi
Semacam keteduhan dari kemarau yang memangsa
Nurani, semacam kehangatan dari hujan air mata
Yang menerjang cinta kita
*ini adalah puisi kenangan ketika saya menginjakkan kaki di kampus (tepatnya saat OSPEK). Bahasa yang dulu saya anggap amat biasa, namun kesederhanaannyalah yang membuat pernik-pernik indah ketika Mas Hasta pendeklamasikannya di Pendopo Tedjokusuma.
Saya beruntung melihatnya berdeklamasi lucu di sana. Saya kangen masa-masa itu, sungguh.
Monday, October 18, 2010
Batu dan Cahaya
Ingin saya tepuk pundakmu untuk sekedar menenangkan, dengan nada serius pula ingin saya tanya mengapa kau kecewa. Sayangnya saya tak berhak melakukan dan menanyakannya. Bisa-bisa sakit hatimu menjadi dan makin terkoyak.
***
Suatu hari dalam kota Kerikil kamu menemukan saya, mengajak bermigrasi menuju kota yang banyak cahaya. Saya bilang saya bimbang dan khawatir.
Lalu saat kamu bertanya mengapa, sayapun berkisah.
Saya ini hanyalah bebatuan kasar, yang tak selalu bisa menopangmu karena suatu saat harus hancur ditempa panas dan hujan. Sayapun jahil saat sengaja membenturkan diri agar terinjak dan membuat telapak kaki kalian sakit dan luka.
Bahkan karena kerasnya, saya tak boleh diadu dengan kesamaan serupa. Itu hanya membuat kita terbelah dan pecah.
***
"Aku tak pernah marah jika kamu mencari yang lain." Begitu kata saya.
"Aku tak bermaksud begitu...," katamu bergetar.
"Aku akan tulus menerima pilihanmu yang lain," kataku.
"Aku kecewa..."
"Mengapa begitu?"
Terdengar napas berat dari hidungmu, mungkin paru-parumu telah kempis sekali sekarang.
"Aku adalah cahaya. Yang aku inginkan hanyalah engkau. Kau adalah pilihanku tapi tak memberi kesempatan untukku."
"Kesempatan?"
"Tak inginkah kau kubawa menuju tempat baru? Aku ingin selalu menerangimu agar kau tak perlu khawatir akan kegelapan."
"Lalu? Bagaimana aku bisa berguna untukmu?"
"Cukuplah kau di sana menemaniku."
Saya trenyuh dalam bisu. Menyayangi tapi tak bisa melengkapi. Bagi saya, kami adalah mozaik yang tak pernah tersambung.
Kamu tak perlu menadakan kecewa seperti itu, karena benda mati serupa saya tak butuh kauharap banyak.
Saya tak bersayap maupun berkaki menuju tempat indah itu. Kalaulah seekor camar tiba-tiba mencengkeram lalu merebah saya di tempatmu, bisakah dia mengaduk saya dari gerumbul karang atau batu? Mereka pastilah memagari saya dengan ketat.
***
Lalu saya tiba-tiba bersedih. Bukan karena kekecewaan yang kauperlihatkan, namun luka yang telah saya buat di sana...
Ah, saya telah menjahilimu, wahai yang berharap pada sekecil batu...
18 Oktober 2010