Ingin saya tepuk pundakmu untuk sekedar menenangkan, dengan nada serius pula ingin saya tanya mengapa kau kecewa. Sayangnya saya tak berhak melakukan dan menanyakannya. Bisa-bisa sakit hatimu menjadi dan makin terkoyak.
***
Suatu hari dalam kota Kerikil kamu menemukan saya, mengajak bermigrasi menuju kota yang banyak cahaya. Saya bilang saya bimbang dan khawatir.
Lalu saat kamu bertanya mengapa, sayapun berkisah.
Saya ini hanyalah bebatuan kasar, yang tak selalu bisa menopangmu karena suatu saat harus hancur ditempa panas dan hujan. Sayapun jahil saat sengaja membenturkan diri agar terinjak dan membuat telapak kaki kalian sakit dan luka.
Bahkan karena kerasnya, saya tak boleh diadu dengan kesamaan serupa. Itu hanya membuat kita terbelah dan pecah.
***
"Aku tak pernah marah jika kamu mencari yang lain." Begitu kata saya.
"Aku tak bermaksud begitu...," katamu bergetar.
"Aku akan tulus menerima pilihanmu yang lain," kataku.
"Aku kecewa..."
"Mengapa begitu?"
Terdengar napas berat dari hidungmu, mungkin paru-parumu telah kempis sekali sekarang.
"Aku adalah cahaya. Yang aku inginkan hanyalah engkau. Kau adalah pilihanku tapi tak memberi kesempatan untukku."
"Kesempatan?"
"Tak inginkah kau kubawa menuju tempat baru? Aku ingin selalu menerangimu agar kau tak perlu khawatir akan kegelapan."
"Lalu? Bagaimana aku bisa berguna untukmu?"
"Cukuplah kau di sana menemaniku."
Saya trenyuh dalam bisu. Menyayangi tapi tak bisa melengkapi. Bagi saya, kami adalah mozaik yang tak pernah tersambung.
Kamu tak perlu menadakan kecewa seperti itu, karena benda mati serupa saya tak butuh kauharap banyak.
Saya tak bersayap maupun berkaki menuju tempat indah itu. Kalaulah seekor camar tiba-tiba mencengkeram lalu merebah saya di tempatmu, bisakah dia mengaduk saya dari gerumbul karang atau batu? Mereka pastilah memagari saya dengan ketat.
***
Lalu saya tiba-tiba bersedih. Bukan karena kekecewaan yang kauperlihatkan, namun luka yang telah saya buat di sana...
Ah, saya telah menjahilimu, wahai yang berharap pada sekecil batu...
18 Oktober 2010
Home » learning » Batu dan Cahaya
Monday, October 18, 2010
Batu dan Cahaya
lainnya dari blah, learning
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Terasa kesedihan dalam kisah ini:((
ReplyDeleteiya, memang begitu adanya, mbak firda..
ReplyDeleteKeren, ada perasaan dibalik cerita ini.. Sekuat apapun batu dia akan terkikis juga atau terpecah menjadi batu yang lebih kecil :)
ReplyDelete* berharap pada sekecil batu...*
ReplyDeleteBatu batuku selalu tersinar lampu...
http://orangjava.multiply.com/photos/album/80/Habis_Lebaran_Makan_Batu
hmm, makasih..
ReplyDelete*hanya kiasan kok, mbak
abah:
ReplyDeleteote, aku meluncur...
T^T..........
ReplyDeletega usah gitu.
ReplyDeleteboleh dooonk...pan sayah mencoba berempati...*halah*
ReplyDeletemakasih.
ReplyDeletekembalikasih....
ReplyDeleteapa kabar ver?
ReplyDelete:)
ikut baca2...masih belum terlalu mengerti
:)
alhamdulillah pangestu, mas.. *baliksenyum
ReplyDeleteiya ndak papa, makasih udah mampir *senyumlagi
syukurlah, moga sehat selalu.
ReplyDeletemet beraktivitas,,,:)
aamiin, mudah2an mas suga juga begitu. *senyum
ReplyDeletecurl dikit ya mbak, beberapa minggu yang lalu br ngerasain ini :hammer:
ReplyDeletemas arif lagi kecewa?
ReplyDeleteSabar, ada waktunya untuk terjatuh dan kembali bangkit. Yeyeye ayo semangat lagiii...
ada apa gerangan kawan ?
ReplyDeletemb sefa:
ReplyDeleteengga ada apapun kok mbak, mungkin sedang sentimentil aja :)
mb sefa kmana aja? Sepertinya aku jrg bertemu dgnmu...
hehex.. ada aja..
ReplyDeletecmn malaz ngempi karena jaringan yang sulit banget dicari..
apa kbr ?
alhamdulillah, mb sefa sehat jugakah?
ReplyDelete*nasip koneksi mp memang 'istimewa' :D