Sudah cukup banyak yang saya lihat di atas tanah ini. Orang-orang dengan beragam posisi mengekspresikan diri dengan benda yang penuh huruf. Terkadang mereka serius, tertawa, menangis bahkan marah. Saya heran kenapa huruf bisa begitu menarik buat mereka?
Saya cuma tahu bulat, kotak, atau lonjong. Tak pernah berkenalan dengan satu huruf pun.
Teman saya si Ucuy bilang kalau mengenal huruf itu seperti berkenalan dengan isi dunia. Menurut saya dia lebay juga, tapi tak bisa saya pungkiri kebenarannya. Dia pernah cerita tentang Pak Soekarno dan Elvis Presley. Di situ saya terkagum-kagum bagaimana pidato Pak Soekarno membakar semangat kaum pemuda. Lain lagi dengan Bang Elvis yang jadi penyanyi legendaris asal luar negeri.
Saya tanya Ucuy apa saya bisa bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh ini. Eh… Ucuy malah ngakak dan bilang saya ini bodoh kuadrat (maksudnya apa ya?). Katanya mereka itu sudah wafat alias meninggal jadi tak mungkin ditemui di dunia. Waktu itu saya cuma menyeletuk ringan, “Eh Cuy hebat lu yah, bisa kenal sama orang-orang yang udah ninggal. Terus sebenernya lu kenalan kapan?”
Kata Abah, kebutuhan saya sebagai anak orang miskin cukup mengenal uang dan angka saja. Makanya, saya ini pinter ngitung lho. Satu sampai Sembilan saya hapal. Punya nol dua berarti ratusan. Punya nol lebih banyak lagi akan semakin bagus.
Tapi Emak suka protes. Misalnya sabun colek yang saya belanjakan selalu tak seperti apa yang beliau mau.
“Ini mahal Nak,” begitu katanya dengan nada gemas. Lho kok Emak protes? Bukankah di sabun itu tertera harga yang tinggi? Lebih banyak nol berarti lebih bagus kan? Saat itu Emak cuma duduk lemas sambil geleng-geleng kepalanya. Terus, saya disuruh belajar membaca.
Hal beginilah yang membuat Abah dan Emak bersitegang. Manurut Abah, biaya sekolah itu mahal jadi saya tak usah belajar banyak macam insinyur.
Hm… dalam hati saya membatin ‘…berarti belajar itu banyak nol-nya, makin bagus tuh.’ Tapi kasus ini lain juga, nilai tinggi ditolak oleh orangtua sebagaimana halnya dengan sabun colek itu.
Kasus sepele yang bikin pelik suasana rumah akhirnya saya utarakan pada teman saya yang pintar berkenalan dengan orang mati itu, si Ucuy. Bukannya ikut bersimpati, si Ucuy malah tertawa ngakak sampai kesulitan bernapas.
“Jul, lu bener-bener dodol ya! Pinternya cuma cari yang mahal saja!”
Dalam hati saya tersinggung juga dibilang dodol. Tapi terselip rasa bangga karena dibilang pinter cari yang mahal. Akhirnya saya cuma diam, tak tahu harus marah ataukah menanggapi pujiannya.
“Gini saja Jul, mungkin gue bisa ajarin lu belajar baca. Tapi kita maennya pas senggang saja.” Ada secercah rasa igin tahu begitu ia menyebut ‘belajar baca’. Hehe, saya dapat yang mahal nih.
Segitu dulu ceritanya, ini hari pertama saya mau belajar sama si Ucuy. Dari kejauhan sana saya melihat beberapa warga tampak tergesa-gesa. Hm, Jakarta memang tak hanya orang kantorannya yang sibuk, tapi orang-orang kecil seperti kami juga harus serba cepat.
Mana si Ucuy ya? Ini waktu senggang kami yang sama, sudah hampir tiga pekan kami lalui dengan baca tulis. Saya senang bisa mengenal Ucuy, terlebih dikenalkan dengan aksara. Pandangan saya menangkap sosok tubuh kecil.
Oh, itu adiknya Ucuy.
“Bang, ayo cepat ke rumah, tolong... tolong ikut sholati Bang Ucuy ya…”
23 Maret 2010
*gambar dari sini
test
ReplyDeletememaksa
ReplyDelete