Home » Archives for April 2011
Saturday, April 30, 2011
Pesan Hujan
Batu dan Cahaya
Sunday, April 24, 2011
Tanpa Akhir
Lelaki tua itu keluar sambil membawa segelas kopi hitam yang masih mengepulkan asap. Ia duduk di depan gubuk kecilnya.
Sesekali orang yang lewat menyapa dan tersenyum padanya. Ceu Mirah seperti biasa melambaikan tangan ke arahnya dari seberang jalan. Kalau sudah begitu, seorang pemuda biasanya akan membawakan cemilan cuma-cuma padanya.
Benarlah rupanya, tak sampai 5 menit, ia kini ditemani sepiring goreng pisang di samping gelas kopinya.
Sementara waktu merangkak makin larut, bulan membentuk clurit di angkasa. Suasana kampungpun senyap, dan orang-orang terlelap pada hipnotis malam. Hanya sosok renta yang masih betah duduk sambil mengunyah gorengan.
***
"Ingatkah kau saat aku melamarmu? Sungguh aku pria paling beruntung di dunia ini bisa pernah mendampingimu. Menemaniku ketika sakit dan membelaimu ketika kau gundah.
Aku senang sekali melihat semu pipimu saat menerima setangkai bunga dahulu. Aku sungguh bersyukur bisa melihat senyummu kala itu.
Ah, bagiku hanya kaulah satu-satunya bunga yang dapat kutanam di hati."
Benak si lelaki terapung.
Mengingat sosok wanita yang tak dapat memberinya keturunan, membuatnya lemah menatap sorot lembut yang berkaca karena rindu akan hadirnya anak dari rahimnya. Betapa ingin ia meyakinkan bidadarinya bahwa kehadirannya sudah amat berarti.
Hanya ada satu wanita dalam hidupnya.
***
Jemari keriput itu bergerak meraih cangkir kopi. Sayang, cuma ampasnya yang mengendap, juga isyarat airmata yang menggulirkan kepedihan.
"Hei isteriku yang cantik, apa kabarmu di nirwana sana...?" batinnya lirih sebelum ia kembali ke dalam gudang kenangan.
________
Hanya fiksi, terinspirasi lagu Takkan Habis Cintaku-nya Lingua. Dibikin buat ngeramein lombanya mb peb..
*pidionya boleh nyusulkah? [ngarep ada yg mau bantu masukin]
*muga gak kena dis
Lingua - Takkan Habis Cintaku.mp3
Saturday, April 23, 2011
Apa Kabarmu Tin?
Hmm, menyambung dari postingan Eva dan Kenangan SD…
Banyak hal yang sebenarnya bisa saya ceritakan sewaktu SD. Tapi berhubung ingatan saya juga terbatas dan tak semuanya saya alami, mungkin hanya beberapa kejadian saja yang bisa saya ceritakan.
Setidaknya itulah yang saya pikirkan ketika beranjak besar. Saya teringat seorang nasrani manis kurus yang keadaannya sebenarnya ‘lebih’ dibandingkan teman-teman lain. Meski sebenarnya ia lebih dekat dengan seorang Protestan karena bertetanggaan, dia lebih dekat dengan Ides. Mungkin karena satu pemahaman (Katolik) atau bahkan satu gereja.
Yang saya tahu, dia diberikan kelimpahan kasih sayang dan materi dari ayahnya. Ides bilang bahwa ibunya galak, makanya Tinar seringkali takut menghadapi ibunya.
Saya dan dia tidak akrab, tapi satu sama lain sudah saling tahu. Termasuk ketika ada kehebohan yang menimpa dirinya.
Saat itu masih jam sekolah, gerombolan Ides cs tengah dikejutkan dengan tangisan Tinar. Saya tak tahu pasti kenapa, yang pasti keluarganya sedang bermasalah. Dari dulu memang bermasalah, tapi mungkin kali ini telah mencapai puncaknya. Dia bercerita bahwa ia tak betah di rumah karena orangtuanya kerap bertengkar dan terkadang ia jadi sasaran amuk. Hingga sampai bel sekolah berbunyi, badannya gemetar saking takut pulang ke rumah.
Akhirnya atas ide cemerlang dari sahabatnya, kami sekelas diminta pergi ke rumahnya bareng-bareng. Kami bermaksud melindungi Tinar dari kemarahan orangtuanya sekaligus meminta mereka agar tak melukai Tinar lagi. Kami sudah cukup mendengar ia sering jadi sasaran pukulan hingga badannya memar membiru begitu. Sahabat mana yang tidak ikut merasakan penderitaan teman sejolinya?
Tapi apa daya kekuatan kecil segerombol anak SD, kami diusir dan disuruh tak mencampuri urusan keluarga mereka. Walau begitu, mereka tetap mentolerir dua sahabat Tinar masuk ke dalam rumah, Ides dan Trista.
Saya tak tahu apa persisnya yang diobrolkan mereka. Hanya intinya, kami dibilang agar tak ikut campur urusan keluarga mereka... *sigh
Terakhir saya dengar kabar bahwa orangtua mereka berpisah. Entah cerai atau tidak.
Setahu saya Tinceu pindah ke luar kota, tepatnya Cirebon. Hanya desah tertahan yang bisa kami keluarkan ketika tahu bahwa ia harus ikut ibunya ke sana.
Beberapa waktu kemudian Ides berkunjung ke rumah Tinar di sana.
“Tambah kurus saja dia. Waktu aku ke sana saja dia sedang mencuci baju. Aku melihat ibunya sedang santai menonton TV sambil ngemil, ckckck…” Begitu komentarnya.
Entah dia bicara benar atau dilebih-lebihkan (biasalahh, kadang anak kecil suka berlebihan).
____________
*semua nama saya samarkan karena saya belum berizin dan khawatir menyangkut privasi yang bersangkutan (walau belum tentu dia tahu ini cerita dirinya)
Thursday, April 21, 2011
Kisah di Hutan Terlarang
Pagi yang cerah.
Saya mengambil kayu bakar di hutan terlarang -- entah kenapa bisa disebut demikian. Gosip yang beredar dari penduduk desa yang sok tahu, katanya ada naga jahat bertaring racun mematikan tinggal di sana. Konon naga itu terbuang dari kawanannya dari gunung Dewa. Dia kalah tarung sehingga sayapnya lepas sebelah, makanya tak bisa kembali ke sarangnya.
Sementara orangtua saya bilang katanya ada penyihir yang suka mengambil perawan para gadis desa. Nah, kalau versi ini saya percaya, karena hanya orang pengecut macam maniak yang mau tinggal di hutan sepi agar aibnya tak diketahui banyak orang.
“Jangan cari di hutan terlarang, Nak. Kamu cukup mencari ranting di kebun saja…” Begitu pesan ibu ketika saya diminta mencari ranting guna menghidupi kecukupan pangan kami sekeluarga. Ah saya bukan gadis Bu, batin saya tergelak keras sambil melangkahkan kaki menentang amanat beliau.
Ketimbang disebut sebagai hutan terlarang yang terkesan seram, keadaan di dalamnya malah terkesan tenang. Saya melihat berbagai kehidupan satwa liar di sini. Pepohonan di sini rimbun sehingga amat sejuk ketika saya berjalan.
Sesekali sinar matahari nakal menembus sela-sela daun. Semua penghuninya rukun, saya tak melihat adanya pertentangan antara tupai dan burung dalam satu pohon, atau rangrang dan ulat dalam satu daun, atau berang-berang dan kuda nil dalam satu sungai.
Sialnya, saya juga semakin sadar tak ada ranting terjatuh di tepi-tepi hutan, sehingga tanpa terasa kaki saya telah jauh masuk ke dalamnya. Hingga sampailah saya pada sebuah telaga kelam di jantungnya. Ada sebuah pondok rapuh di sampingnya, juga bercerobong asap hitam dan berbau sedap keluar dari sana. Aroma yang amat menggoda, saya jadi ingin bertandang ke sana sekalian menyapa si pemilik gubuk.
Saya tak peduli diakah sang penyihir atau naga yang pandai menyamar atau siapa tahu ia memang orang baik yang tinggal di hutan. Tangan saya sudah terlanjur mengetuk daun pintunya. Beberapa saat kemudian saya mendengar langkah-langkah berat mendekat hingga akhirnya terkuaklah pintu itu.
Seorang wanita tua bercelemek lusuh kini berhadapan dengan saya. Tangan kirinya terbungkus sarung tangan seperti milik ibu saat ia memasak. Saya rasa ia juga tengah memasak menu makan siang. Saya tersenyum sebagai sapaan pertama padanya. Ia membalas sapaan hening saya dengan senyuman lebar. Saat itulah tampak oleh saya, taring geliginya tampak tersembul di kanan dan kiri sudut bibirnya.
“Oh maaf aku menakutimu dengan taring-taring ini, Nak. Apa kamu sedang dalam perjalanan? Masuklah, akan kubuatkan sup untuk bekal perjalananmu,” ajaknya ramah. Saya mengekor dan mendapati ruangan di dalam gubuk ini amat bersih dan nyaman. saya disuguhi sedikit makanan, namun rasanya enak dan dia bermurah hati memberi sebagian makan siangnya untuk saya.
Kini saya yakin bahwa dia bukanlah penyihir yang diceritakan orangtuaku maupun naga yang diisukan para penduduk desa.
Saat saya merunut pengalaman saya pada orangtua di rumah, roman muka ibu berubah pucat dan sikapnya menjadi sangat gugup. Ayah mengacak rambutnya dan mondar-mandir resah di hadapan saya. Saya tidak mengerti, oleh karena itu saya mendesak keduanya untuk bersikap jujur pada saya. Karena tahu kemauan saya yang seperti baja ini tak bisa dibodohi begitu saja, mereka mengungkap kenyataan tentang wanita tua di jantung hutan itu.
Seorang saudagar tampan yang saya ketahui terkenal masyhur terpelajar telah membunuh banyak gadis demi kepentingan dirinya. Saya tak tahu apakah dia punya syahwat yang terlalu banyak ataukah terlalu banyak gadis yang mencintainya ataukah kekurangan harta (sehingga membunuh ahli waris hartawan setelah menikahinya terlebih dahulu). Masa bodoh dengan dia yang kalah dengan kelakuan binatang di hutan itu!
“Dia membuang mayat para gadis malang itu ke telaga di tengah hutan, dan nenekmulah yang mengambil jasad-jasad kaku itu lalu menguburkannya di sana…”
Apa?!
Mungkin detik sejenak tak berdetak begitu mengetahui kenyataan perih itu...
Seharian ini saya merasa amat tak tenang. Saya tertusuk jarum ketika menjahit terompah usang milik ayah. Saya menimba air di sumur, namun pengungkitnya rusak dan tali embernya putus. Saya coba membantu ayah menyelesaikan ukiran kayu, tetapi semua perkakas telah berkarat dan saya kesulitan mencungkilnya.
Akhirnya malam ini saya duduk menghadap hujan dari balik jendela yang mulai berkabut, memperhatikan beberapa orang yang tengah memikul sesuatu menuju hutan. Oh baguslah, gosip itu tak lagi menguar sehingga orang-orang tak perlu takut untuk masuk ke dalamnya. Tak terasa mata saya semakin berat, memandangi petir mungkin tak baik untuk kornea.
Yang saya ingat keesokan harinya hanyalah kematian kekasih saya. Kerumunan orang berbaju hitamlah yang saya lihat di sana. Memberitakan hilangnya gadis yang amat saya cintai itu. Ibunya menangis tetapi aksi pingsannya sudah tak wajar. Yang saya tahu dia tahu puterinya mati. Ibunya bungkam tapi saya tahu pasti siapa yang membunuhnya tanpa luka.
Tahu-tahu saya tengah memandang api yang berkobar di depan gerbang megah milik sang saudagar. Tangan saya lengket berlumur minyak. Saya ingin berlari tapi ingin menyaksikan terlebih dahulu orang biadab itu rusak terbakar. Saya tahu kemudian banyak orang menjerit-jerit dan berteriak kepada saya. Ah mereka tak sabaran, tiba-tiba saja saya disergap, dipukuli dan ditendang dengan berbagai alat. Diusung, lalu dilempar ke sebuah tempat yang basah dan dingin.
Penglihatan saya sudah gelap. Tak tahu apa yang terjadi di luar sana. Oh payah, padahal saya ingin melihat nenek saya barang sebentar saja. Lalu, inikah pertama kalinya ia akan menguburkan sebuah jasad laki-laki? Nek, akan seperti apa rautmu ketika menemukanku dalam keadaan begini...?
_________________________________
gambar dari sinih
Buah Pendosa
Aku mengangkat sekeranjang buah segar itu dengan hati berdebar. Tak bisa kubayangkan seandainya Ayah menerima kejutan kecil ini di rumah.
Kuamat-amati kembali keranjang tersebut dengan seksama. Hanya segini saja sudah bagus, tetapi tetap saja aku merasa ada yang kurang.
Sebuah ide melintas di pikiranku. Mungkin akan lebih cantik bila kugaunkan selilit pita atau setampah kain sebagai alas buahnya. Kuletakkan bebuahan di samping keranjang, dan mulailah kulilit raffia putih di sepanjang pegangannya.
Aku tak pernah tahu kapan pertama kalinya aku membuat dosa. Orang bilang, tangisan saat bayi dilahirkan itulah dosa pertama setiap umat manusia. Aku hanya berharap tak memiliki dosa lagi selain itu.
Parsel buah yang cantik itu masih kujinjing dalam kepalan kiriku. Tadinya mau kukupaskan sekalian untuknya. Sayangnya likuid amis ini telah mengotori pisau dalam genggaman kananku.
Maaf ya Yah, mungkin aku telah berdosa lagi padamu…
____________________________________________________
*just-fiction*
Relative Clauses
Tuesday, April 19, 2011
Monday, April 18, 2011
Tuesday, April 12, 2011
Monday, April 11, 2011
[copas dosen] Manakah yang lebih tidak beradab; hukum cambuk atau perselingkuhan?
Bermula ketika saya ikut-ikutan mem-vote pertanyaan seperti judul di atas, saya mendapat tag dari dosen saya mengenai artikel menarik yang berkaitan dengan salam satu media cetak terkemuka di Indonesia.
Berhubung saya ndak sempat nerjemahin, minta bantuan Tante Google aja yee... Berikut copasannya:
-----------------------------------------------------
This thing about misconceptions of Islamic values (an article review)
Another misconception of Islam is found after reading this article, entitled Brutal Justice in Indonesia:
A woman flinches as she is about to be repeatedly caned for having an extramarital affair. Irdayanti Mukhtar, 34, received nine lashes by Sharia Police for having a relationship with another man, even though she is said to be in the process of divorcing her husband.
The harsh punishment was meted out in front of a crowd of 200 people outside the Al Munawwarah Mosque in Jantho, Indonesia. The jeering crowd recorded the brutal beating on their mobile phones and camcorders and shouted for more beatings in the strict Muslim city.
Mukhtar had been sentenced to the punishment the previous day by a Sharia court where prosecutors said that she was guilty of being in 'close proximity' to another man. Under Sharia law the offence carries a maximum beating of nine strokes with a cane or a minimum of three.
Neighbours had seen Mukhtar with the man and had barged in on her while the couple were in her bedroom, although it is unclear what they were actually doing. The mob then dragged them to the local police station to be charged.
It is believed Sharia Police are also investigating a claim that Mukhtar was molested by the crowd before they took her to be charged.
Shortly after the caning on Friday Mukhtar passed out and had to be taken to hospital for treatment. She was one of four people, including the man she was caught with, to be caned for extramarital affairs.
taken from: Hitipew, J. 2011. Brutal Justice in Indonesia. retrieved from http://english.kompas.com/read/2011/04/10/05260065/Brutal.Justice.in.Indonesia
There are at least three major flaws regarding this article.
1. The confusion of defining extramarital affair. According to Islamic values, when a couple undergoes a process of divorce, they both are still considered as husband and wife. The aim of a divorce court in Islam is to try to reunite the conflicting couples thus giving them time (process) to reconcile. So when they are in the process it is considered as adultery unless they are OFFICIALLY divorced.
2. The twist of logic. The core problem here is not about the caning (or whipping) of the woman. The core problem is actually the ADULTERY that the woman commit while she is still in the process of getting a divorce. NOT the caning (whipping) the woman is getting which was exposed in the article. There would not be a whipping if there was no adultery, correct???? If the whipping is considered brutal, then what about the ADULTERY? Does it imply that the ADULTERY is less brutal than the whipping?
Now, I ask each and everyone of you who reads this note: how do you feel when you are a victim of adultery? how do you feel if you have been cheated by somebody? Just because we cannot see the brutality of adultery with our naked eyes (compared to whipping which results in passing out, bleeding, even dying), it doesn't mean that adultery is not brutal. Another question: would you rather experience adultery or would you rather experience a whipping? (don't answer with: 'neither' because although that's a brilliant answer, it doesn't describe the brutality of adultery). In an Indonesian anecdote: daripada sakit hati lebih baik sakit gigi iniiiii (nyanyi mode: ON).... padahal loro untu perih e minta ampyuuuun.... Seriously, I've myself witnessed an adultery which can actually kill the victim (the partner) slowly because the partner was deeply hurt and most of all, embarrased being cheated on. What about the children? well, adultery won't 'literally' kill them, I guess, hehehe...
Another question: what are the impacts on adultery crimes and what are the impacts on whipping or caning? Committing adultery, especially when you have children, has a very big negative impact to the victims such as the partner and children, while caning harms solely the suspect (this time i answer my question myself, hehehe).
3. the definition of JUSTICE, one of the words in the title. What does JUSTICE mean? Here's one definition of justice:
Justice is the concept of moral rightness based on ethics, rationality, law, natural law, religion, fairness, or equity, along with the punishment of the breach of said ethics (Konow, 2003).
Konow, James. 2003. "Which Is the Fairest One of All? A Positive Analysis of Justice Theories." Journal of Economic Literature 41, no. 4: page 1188
An ethics of marriage is breeched by adultery which was justified by caning the suspect. We discussed about the brutality between adultery and whipping, earlier. So, what does "BRUTAL JUSTICE" written on the title mean? By the way, it is concentrating on the whipping of the woman, without analyzing the whole picture of cause and effect case.
Sometimes these misconceptions of Islamic values occur. Well, reaching the end of my note, I am so speechless as to write the conclusion to this note. Anybody can help me?
_________________________________
taken from: http://www.facebook.com/notes/wipsar-siwi-dona-ikasari/this-thing-about-misconceptions-of-islamic-values-an-article-review/10150148343882909
_________________________________
Saya hanya men-share apa2 yang sudah diutarakan dosen saya. Saya sudah menyarankan beliau agar mengirimkannya ke media yg bersangkutan sebagai tanggapan pembaca. Beberapa saat kemudian saya memperoleh jawaban sebagai berikut:
"just sekedar curhat. saya sign in ke media yang memuat artikel yang saya review tersebut dan saya juga membuat komentar disana, and guess what???? komentar saya dihapus, hehehe..."
"ada yang bisa membantu saya? saya benar benar heran mengapa komentar saya dihapus, hwiks.... saya komentar 3 kali, yang 2 muncul tapi sesaat kemudian langsung dihapus."
Saya pikir agak aneh juga mengapa sebuah media yang cukup besar begitu menghapus tanggapan pembaca? Saya kira kan tak ada salahnya toh hanya sekedar pendapat (walau dalam hal ini saya lebih suka menyebutnya sebagai pemberitahuan kebenaran)...
Jadi saya minta izin beliau untuk bisa ikut share di sini, paling tidak pembaca bisa memperoleh informasi dari dua sudut berbeda, ya kan?
Saturday, April 9, 2011
Monday, April 4, 2011
Sunday, April 3, 2011
Question Words on the Spot
Ok, back to topic.
No. | Question words | Function | Example |
1. | Who | To ask people (as subject) | Who gets up on 9 am? Who can wash my car in a minute? |
Whom | To ask people (as object) | Whom did you laugh at? Whom will she serve actually? | |
2. | What | To ask information about something | What is sleeping on the sofa? What will be submitted? |
asking for repetition or confirmation | What? I can't hear you. You did what? | ||
What | To ask thing/things (as object) (and also possession of thing if available) | What is the cat searching for? What will she write on the letter? | |
3. | Where | To ask place | Where did Juned find my ring? Where might Rambo go? |
4. | When | To ask time | When does Euis leave school? When will you graduate? |
5. | Which | To ask choices (pilihan) | Which shawl will we buy? Which one do you prefer? Tea or coffee? |
6. | Whose | To ask possession (kepemilikan) | Whose geese are they? Whose car will he borrow next week? |
7. | Why | To ask reason | Why are they lying on the floor? Why will you leave us? |
8. | How | To ask manner/way (cara) | How did you explain it? How will the taxi accumulate the bill? |
asking about condition or quality | How was your exam? | ||
how + adj/adv | asking about extent or degree | ||
how far | distance | How far is Pattaya from Bangkok? | |
how long | length (time or space) | How long will it take? | |
how many | quantity (countable) | How many cars are there? | |
how much | quantity (uncountable) | How much money do you have? | |
how old | age | How old are you? | |
how come (informal) | asking for reason, asking why | How come I can't see her? |
To know if you understand well which one, then take this quiz first or this one...
Interrogative pattern will help you to make question word because all of its pattern use interrogative sentence, EXCEPT for asking SUBJECT.