Mah,
neng ga bisa tidur malam ini
Mamah sedang apa di rumah?
Pa,
maaf ya neng masih nyusahin Apak
Sehat-sehat di kampung ya, Pa
Apak Mamah,
maafkan neng ya,
neng belum selesai pendidikannya,
belum jadi sarjana
belum bisa menghasilkan apa-apa,
belum bisa menjadi anak kebanggaan kalian juga...
Maaf neng cerewet sendiri,
soalnya cuma neng yang masih melek
Neng cuma curhat buat semalam ini saja,
beri neng waktu menempa diri di sini
Rasanya terlalu cepat menempuh pendewasaan
dalam waktu yang sempit
Jadi jika saatnya neng kembali,
neng ingin diri neng pribadi
akan membikin kalian lega
bahwa neng
telah terbiasa berusaha keras
untuk mengimbangi masa depan
dan hakikat hidup
Izinkan neng ya, Apak-Mamah, bagaimanapun adanya...
neng bakal terus meminta restu paling mujarab di dunia,
yakni restu kalian, duhai muasal hidupku.
Neng selalu doakan
kesehatan bagi kalian,
kelapangan hati untuk senantiasa ikhlas,
ridha Gusti Agung pula untuk setiap pilihan Apak-Mamah
Salam cinta dari jauh,
yang neng tahu doa kalian selalu berikrar dalam serat-serat napas yang semakin pendek...
Betapapun neng hanya menggaung dalam batin bahwa
Neng ingin bersua rumah,
Neng ingin pulang,
Neng kangen kalian...
Midnight
26 April 2010
Home » Archives for April 2010
Thursday, April 29, 2010
Tenunan Surat buat Apak Mamah
Kepada Setengah Darahku
Kakakku sayang,
yang kutahu...
Kau ini bujang penuh juang,
menempuh takdir pilihanmu
tanpa harus meruntuhkan harga diri.
Adikku terkasih,
begitu kalian dilahirkan...
Kutahu kalian gadis-gadis kecil manis,
yang kedewasaannya telah mengiringi tahap-tahap umur kalian.
Aku senang pada celotehan kalian.
Kelak kala kalian menemukan hal-hal menakjubkan dalam buana ini,
aku ingin kalian tahu
betapa istimewanya kalian menjadi saudara untukku.
Aku ingin kalian terus belajar mencinta:
Mencinta Tuhan dengan segenap rasa.
Sebab inilah kado-Nya yang berharga,
yang tak semua insan dititipi.
Tahukah kalian?
Seandainya rumahku tanpa kalian...
Rumah bagiku terlalu sepi untuk disinggahi.
Lantai bagiku menimbun debu untuk dilewati.
Ruang bagiku memantul gema buat seorang diri.
Kadang aku ingin tahu...
Apa yang dulu kudialogkan dengan Tuhan?
Mengapa aku memilih rahim yang kalian pilih?
Tahukah kalian?
Doa-doaku terbalut sederhana buat kalian;
ridha Allah untuk setiap langkah yang kalian ambil.
Bilamana kata sayang tak pernah sempat di bibir ini,
aku tahu ada Dzat yang mengetahui
mengapa aku tak pernah menyempatkan diri
untuk berucap.
Jangan katakan aku tak dianugerahi pita buat mencuap,
hanya saja...
bagiku kata-kata tak pernah cukup
refleksi
demi mengecap
lezatnya sebuah rasa.
Padang Batik
22 April 2010
Satu Sentilan (Tuan Eks 2)
Rabu dini hari, insomnia yang sengaja saya kunjungi.
Malam-malam yang sengaja saya datangi tak pernah sepi. JetAudio dalam myAbe selalu menyala, sekalipun sudah waktunya ia mendinginkan diri. Alunan bossanova menemani saya beberapa minggu ini. Nyaris tak bosan mendengarnya. Selimut tebal sedang khusyuk menyelimuti relung-relung terdalam saya, sebutlah – sejak pertemuan tak terduga itu.
Perlu waktu banyak untuk saya agar bisa menguasai diri tak terpengaruh olok-olok teman terdekat saya di kos. Sedikit jentikan saja membuat saya payah melawan arus memori.
Malam ini sengaja saya nikmati berhubung satu sachet kopi telah membuat mata saya merasa sangat sehat. Sayang rasanya kalau dibiarkan menutup lagi. Akan saya peluk satu malam ini sampai tiba waktu subuh.
Jemari saya asyik mengemudikan kontrol aktifasi internet, menikmati lamanya blogwalking dalam jejaring sosial yang saya punya. Sepi, tentu saja. Geliat komunikasi nyaris tak ada, saya senang tak usah melihat status-status membosankan yang tak penting itu.
Beberapa lama kemudian seorang teman maya men-tag saya dalam tulisannya. Pupil mata saya langsung tergerak membaca, meresapi, lalu saya tercenung sejenak untuk mengagumi keindahan kata-kata yang dia miliki. Tapi ternyata ini catatan keduanya, iseng-iseng saya buka catatan-catatannya yang lain. Saya benar-benar jatuh cinta pada caranya mengungkapkan perasaan dalam sebuah tulisan.
Akhirnya saya dapatkan catatan pertamanya. Tak lupa sekalian juga membaca ragam komentar yang ditujukan padanya. Terus, terus, terus menurun hingga saya dapati sebuah nama familiar yang membuat jemari saya mendadak berkeringat dingin. Tuan Eks.
Aku kesal mengapa penglihatanku mengabur sehingga wajahnya tak terlihat jelas.
Aku menyayangkan mengapa tak kutanyakan namanya agar aku bisa mengenalnya lebih jauh lagi.
Rasanya menyesal sekali tak kubawa kameraku ke dalam mimpi agar bisa kufoto dirinya, sehingga aku selalu ingat akan wajahnya…”
Beberapa menit lamanya saya termenung, ternyata saya tak memiliki harapan seperti miliknya. Sekalipun debaran kecil itu kadang masih hinggap tanpa permisi menghisap habis adrenalin saya. Tuhan telah mendatangkan asa kuat padanya. Inilah sentilan yang saya maksudkan. Rupanya, Tuan juga punya sensitifitas yang tinggi juga, sampai-sampai mencocok-cocokkan wajah wanita idamannya dalam kenyataan. Terselip keinginan agar ia menemukannya, sekalipun ini mungkin akan sedikit menyakitkan.
Jangan menanyakan perasaan saya. Saya ini bodoh sekali untuk berurusan dengan hal-hal begini. Jika Tuan punya harapan kuat seperti itu, maka sebaliknya, saya tak punya harapan Tuan bisa bersama saya. Bagi saya, dimensi harapan yang saya hadirkan agar jangan sampai terlalu muluk. Saya harus selalu ingat akan tanah yang selalu saya pijak, saya bukan siapa-siapa mengenai urusan hati.
Jelaslah yang Tuan maksud dalam catatan itu bukan saya. Kami pernah bersua dalam jeda waktu yang singkat, berkali-kali dengan jarak sejauh mata memandang. Berarti, wajah saya pun pernah ia cocokkan kan? Ah, saya tersenyum simpul membayangkan Tuan mencocok-cocokkan wajah serupa itu, padahal melihat raut wanitanya saja samar-samar begitu.
Masih beberapa jam lagi menuju subuh, sementara itu juga sudah kesekian kalinya saya baca sebiji komen ini. Semakin lama semakin kuat keinginan saya untuk tak ingin tahu lagi mengenai Tuan. Perasaan tak jelas ini juga terlalu samar untuk saya dekati lebih jauh, sementara tujuan dirinya membuat saya terusik juga.
Saya hanya terdiam dengan monolog panjang dalam hati. Ketika saya masih memperkarakan arus memori yang tajam, haruskah saat itu pula saya bermain salah satu babak telenovela dunia yang sempurna ini? Tolong, saya butuh figuran…
Agaknya Tuhan sedang memberi ‘bonus’ menyenangkan. Tapi sekali lagi, saya tak bakal mencampuri urusan hati, saya tak bakal kena tipuan remeh syaitan.
*Heh, baca ini ya, Than! *
Hubungan saya dengan Tuhan agaknya menunjukkan sinyal magnetik yang sudah lama saya rindukan. Sudah lama saya terpaut jauh dariNya, mungkin inilah waktunya saya mendekati kembali, untuk berbicara dari hati ke hati. Saya yakin Tuan diciptakan sebagai alat penguji keimanan saya, apakah saya mampu terus berdiri ataukah tumbang dengan sekali jentikan ini?
Subuh semakin mendekat, kelontang piring dan gelas sudah terdengar dari bilik sebelah. Ada beberapa teman yang hendak shaum hari ini, semoga Allah merahmati mereka. Mungkin saatnya juga saya berhenti memikirkan hal konyol begini dulu. Saya tak ingin selentingan ini muncul dalam ibadah saya nanti. Semoga saja saya mampu (setengah berharap karena yakin lentingan brengsek ini terbawa dalam doa-doa saya). Jangan mengartikan ini sebagai alihan, karena ini benar-benar pelarian. Ini pelarian dimana saya datang demi sebuah petunjuk dan ketenangan. Saya mengobsesikan Dia yang mencipta semua rasa, karena sudah jelas Dia yang tahu harus bagaimana menjinakannya.
Saya kecewa? Oh maaf, itu kata yang paling saya benci seumur-umur.
Kalau begitu, apakah saya kehilangan? Bahkan saya belum pernah memiliki.
Kamis kelam, 28 April 2010
Tuan Eks 1
Hari ini acara makan anak-anak kos – seperti biasa – tak tentu arah. Okta yang menitip nasi telur-nya burjo Panghegar, sementara Tika dan Mbak Tria yang sedang tak bernafsu makan cukup memilih jus. Lalu saya? Saya sih milih dua-duanya, heu heu…
Banyak yang dikemukakan sepanjang perjalanan kami. Mbak Tria semangat bercerita soal anak didiknya yang ngotot ingin meneruskan kuliah ke Jerman tanpa mau ikut penyetaraan sekolah. Beliau sepertinya gemas sekali anak didiknya yang sedikit tak tahu diri ini kok bisa-bisanya yakin bakal diterima di perkuliahan sana dengan mudahnya. Beberapa kali mbak kos saya ini menghela napas panjang seolah capek menghadapinya.
Rute kami lanjutkan menuju tempat penjual jus langganan kami. Hanya menunggu sebentar saja, tahu-tahu kami sudah melewati mesjid Muttaqin dusun kos kami berada. Celoteh masih diluncurkan seperti petasa Cina yang dinyalakan setiap tahun barunya. Cerita beralih ke masalah buku yang beliau cari untuk bahan skripsinya. Ternyata eh ternyata, buku menyusahkan yang selama ini dia cari dimiliki oleh anak didiknya itu. Alhasil, malam ini juga ia berniat memfotokopi buku tersebut. Selebihnya, kami berhenti sebentar untuk membeli beberapa sachet minuman instan.
Entah mengapa mata saya yang tak biasa ‘belanja’, kini menelengkan pandangan ke arah mesjid. Dan… saat itulah saya terpana menyaksikan punggung seseorang disertai deru motor melintas cepat dengan baju yang menggembung karena terjangan angin.
Kutahu sebuah keterlambatan akan sangat mengecewakanmu
Tahukah kau,
Kau beruntung telah memiliki kaki yang ringan untuk mengunjungi rumahNya
Bahkan aku lebih beruntung
Bisa mengagumimu tanpa harus berkenalan dan bertukar nama…
“Itu orangnya, Tik,” desisku spontan. Tika membulatkan matanya seraya menghambur keluar toko sambil celingukan.
“Mana??” Di situ saya cuma tersenyum samar, tak tahu harus menunjuk bagaimana karena si Tuan Eks sudah menghilang dari pandangan.
Pantaslah hujan tak cepat berlalu hari ini. Angin tak ingin bergerak malam ini. Bulan tak nampak, walau cahayanya yang sendu tetap terlihat menimpa mendung yang meliputinya. Sebuah pertanyaan menghunjamku telak.
Uh-oh. Takut-takut kuteliti orang berkacamata ini dengan was-was.
“Mbak Tria tahu?”
“Temanku kenal dia.”
Maggots.
Ya Allah…
Ya Allah…
Ya Allah…
Ya Allah…
Ya Allah…
Tolong sudahi dulu…
“Angkatan 2003 ya?”
Kalau umurnya mungkin iya sih, batinku.
“Atau 2004 ya? Aku lupa…”
Jangan-jangan Mbak Tria salah orang nih, pikirku setengah berharap.
“Atau sama kayak Neng?”
Nah lo. Saya cuma tersenyum tipis, “Pernah sekelas kok.”
“Wuaa, dirimu deg-degan ya??” goda Tika pada saya.
Saya ingin kalian diam barang sebentar.
Saya tak menanggapi, saya tahu mereka lebih paham perihal rasa. Mereka pasti tahu bagaimana rasanya bersua orang yang disukai, bagaimana rasanya seorang sahabat mendapatimu tengah amat-sangat ‘mengagumi’ seseorang, bagaimana rasanya digoda serupa itu. Toh aku mungkin hanya orang terakhir yang digoda serupa itu di kos kami. Tak apalah, karena dunia terlalu besar untuk tahu.
“Kamu suka karena dia sering ke mesjid ya?” tebak Mbak Tria. Tika menoleh cepat.
“Mbak tahu dia sering ke mesjid???”
“Ealah, aku sering lihat dia jalan mau ke mesjid kok.”
“Hah… aku kok gak pernah lihat…”
“Sering lewat sini kok.”
Buset, saya aja enggak segitunya mmperhatikan Tuan deh. Keren juga daya fokus mbak kosku ini.
“Mau lihat? Kamu tongkrongin aja pas bubaran Jumatan, pasti lewat tuh.”
Wah. Berlebihan juga idenya…
“Mbak, aku lemes juga denger mbak ternyata tahu orangnya…,” ungkapku jujur membungkuk menopang lututku. Persendianku benar-benar lunglai, mungkin bagi saya ini merupakan kabar yang mengejutkan karena ternyata ada orang yang tahu tanpa harus saya beritahu. Sementara teman-teman saya tertawa simpul, saya kembali meluruskan.
“Yah, pada akhirnya bakal ketahuan juga kok.”
Burjo adalah tempat singgah akhir kami. Tepat saat hendak beranjak pulang, seorang lelaki yang (mungkin kebetulan searah) bertubuh tegap berjalan di belakang kami. Saking penasarannya, Tika berbisik-bisik pada saya.
“Jangan-jangan dia ya?”
Sayacuma menoleh malas dan menggelengkan kepala. Duh Tika ini suka aneh deh, tadi kan orangnya baru ikut sholat di mesjid, pake nelat pula… kok bisa kalau tiba-tiba jreng ada di belakang kami…
“Bukan Tik, rambutnya jabrik kok,” sergah Mbak Tria.
“Jabrik??”
“Eh…yaa gondrong landak gitu deh…”
“Lagian kurus juga kok Jeng,” imbuh saya.
“Nyantelah, Tik… lama-lama juga kamu mungkin tahu, toh tak selamanya terus tersembunyi.”
Allahu Akbar, kun fayakun. Bila Dia berkata “Jadilah!”, maka jadilah ia.
Cara Allah memang kadang tak terduga. Saya harap mereka tak akan pernah membahasnya lagi. Bagi saya, menjadi orang terakhir korban timpukan olok-olok dalam usia segini sudah bukan zaman. Tapi agaknya saya harus lebih dewasa menyikapi ini, sebab mereka masih seperti ABG. Baru suka, sudah suit-suit tak jelas. Oh, ya ampun.
Monday, April 26, 2010
Pertiga Lail
Ketika lantunan sabda tak henti mengalun
Sabit menampakkan wajah lelahnya
Gegapai samirana menyibak awan semesta
Bersiap meronakan angkasa
Bumi siap mengilau, sejenak hening mendengarkan dengkuran anak-anak Hawa
Atom-atom oksigen hiruk pikuk mencari paru
Meneteskan setitik kehidupan
bagi para mukhlis yang gegap menggenggamnya segera
untuk berserah diri
Duhai para penyeru falah,
bercintalah
denganNya yang telah mencipta airmata dalam mindamu,
denganNya yang telah membunuh dekapan lembut kabut mimpi
Duhai para penyeru falah
Nikmatilah getar-getar rintih hatimu kala ini
Sujudlah atas anugerah besar hari ini
Lalu,
tanyakanlah apa kau bisa mengulangnya
untuk esok hari?
Bilik Rindu
26 April 2010
Sunday, April 18, 2010
Kebersihan: Butuh Reminder dan Kesadaran 3
Kini anak-anak angkatan baru bermunculan, dengan membawa kebiasaan rumah masing-masing kemari. Bak cuci yang sudah dibersihkan, seringkali dikotori kembali oleh pengguna tak bertanggungjawab. Terkadang senior kami juga sampai marah-marah ketika ia membersihkan semuanya (padahal dia juga jarang piket, haha). Teman kos yang mengusulkan piket itu sampai agak tersinggung saat senior kami menyindirnya.
“Hm, kamu ini bikin piket tapi enggak pada dijalanin tuh, kamu mestinya tanggungjawab (atas kekotoran ini) dong,” begitu katanya. Teman saya cuma diam saking mangkelnya dibilang seperti itu. Sebab anak-anak tahu sendiri yang paling getol piket sendiri ya cuma teman saya ini.
Tidak salah seseorang mengadakan penggerakkan niat untuk kebersihan dengan cara piket. Beberapa orang mungkin melakukannya dengan menempel kertas-kertas ‘demo kebersihan’, atau mungkin dengan teguran secara langsung. Bukan berarti orang yang melakukan inisiatif baik tersebut lantas menjadi penanggungjawab utama masalah kebersihan, tapi semua yang terlibat dalam wilayah tersebutlah yang bertanggungjawab untuk memeliharanya. Bukankah mereka hidup berdampingan dan berada dalam satu wilayah?
Sekali lagi masalah kesadaran akan kebersihan masih harus lebih dipahamkan. Saya yakin dalam hati kecil mereka, lingkungan bersih akan sangat-lebih-menyenangkan untuk ditempati alih-alih tempat kotor dengan bau macam-macam di segala penjuru ruangnya.
Dulu saya juga pernah sampai berpikir bahwa anak-anak kos kami ini gila bersih juga… mungkin saya bukan orang superbersih, tapi paling tidak lantai kamar saya tak pernah kotor oleh noda maupun sampah, kecuali buku-buku atau bantal yang berserakan (saya kurang telaten dalam hal kerapian). *hm, jelek-jelek saya jadi ketahuan deh*
Pikiran saya kini lebih berfokus dalam konteks ibadah. Kami tak begitu sering mengunjungi mesjid dan kos kami tak difasilitasi musholla. Maka mau tak mau kamar masing-masinglah yang jadi tempat suci yang senantiasa harus dijaga kebersihannya, terutama dari najis yang seringkali tidak kita ketahui. Belum lagi terkadang teman-teman mengajak sholat berjamaah, otomatis kebersihan kamar kini jadi lebih penting dari mengerjakan tugas kuliah sebab taruhan sah-tidaknya sholat juga dihitung dengan kebersihan tempatnya (masa’ harus pakai koran dulu??).
Yang saya rasakan sekarang ini, bersih-bersih yang semula merupakan ‘paksaan’ saya sendiri, toh terbawa juga sampai rumah. Paling tidak kamar saya harus berlantai bersih sehingga ibadah saya sepenuhnya sah dan tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi mengenai najis maupun hal-hal yang bisa membatalkan ibadah. Pokoknya, pada intinya kesadaran masih tahap kritis untuk menuju suatu perubahan. Jadi, jangan mentang-mentang merasa beban karena tak terbiasa melakukan hal yang baik, lantas selamanya tak bakal mengerjakannya.
Sesuatu yang baik seringkali sangat berat dilakukan karena godaan untuk tak mengerjakannya pun tak main-main. Godaan tak main-main beginilah yang membuat timbangan amal menjadi berat berkali lipat ketika kita sanggup mengerjakan hal tersebut. Mungkin cuma kecil di mata kita, tapi akan lebih berarti ketika kita telah ikhlas menjalaninya, sekalipun bermula dari sebuah keterpaksaan. Jadi, mau dimulai kapan lagi selain dari sekarang? Nawaitu Allahumapaksakan…. *heu heu*
Kebersihan: Butuh Reminder dan Kesadaran 2
Awal-awal bulan angkatan saya mulai beradaptasi dan berkenalan dengan orang-orang kos juga lingkungan sekitar. Barulah ketika kami bertiga (angkatan 2005) mulai berani membuka diri, kami berterus terang mengeluhkan keadaan kacau ini sehingga mengambil inisiatif untuk mulai bersih-bersih seluruh ruang kos, kecuali kamar. Saat kebetulan saya punya pembersih lantai, kami gunakan untuk melucuti noda-noda menghitam di dekat kamar mandi. Hasilnya tak terlalu mengecewakan. Kini lantainya sedap dipandang dan beberapa senior kos kami jadi ikut berpartisipasi dalam acara bersih-bersih ini.
Akhirnya kami mengumpulkan uang untuk membeli peralatan kebersihan karena pel gagang yang biasa kami gunakan saja sumbunya sudah rontok sampai menjuntai tak keruan. Selain itu sapu satu-satunya yang biasa kami gunakan terkadang dipinjam anak lantai bawah dan terkadang lupa dikembalikan, belum lagi kalau tiba-tiba sapu tersebut dalam keadaan basah. Yah, memang harus segera dibenahi kan? Barulah beberapa waktu kemudian setelah uangnya cukup terkumpul, kami membeli rak sepatu dan rak untuk menaruh ember peralatan mandi.
Kegiatan bersih-bersih kamar memang tak begitu sering dilakukan oleh saya tapi bukan berarti kamar saya gak bersih lho. Beberapa teman kos mengakui dirinya sangat cinta kebersihan makanya mereka sering jadi ‘babu’ di kos kami. Melihat helai-helai rambut jatuh saja, mereka langsung ambil sapu lalu menyapu dari pojok kamar sampai beranda depan. Belum lagi kalau tak sengaja tertumpah rujak es krim, kopi, atau teh manis, hm… lap pel sudah siap ditangan dengan seember air campuran Wipol.
Awal-awal kami masuk kos ini, pencucian peralatan makan dilakukan sesegera mungkin setelah usai makan. Sebaliknya dengan yang terjadi setelah kami berakrab ria dengan penghuni kos, alat-alat makan lebih sering ditumpuk dan pencuciannya dilakukan hanya oleh satu orang saja. Pembagian alat makannya saja sudah milikku-milikmu dan milikmu-milikku. Semua telah mengaku sebagai pemilik semua alat makan.
Pernah suatu kali seorang teman kos kami berinisiatif membuat jadwal piket, hanya untuk lantai 2 saja. Minggu pertama masih dalam kendali bagus, sampai akhirnya terlihat jelas siapa yang berkomitmen dengan yang tidak. Misalnya saja, saya kebagian piket dengan 2 orang senior saya dalam sehari. Yang saya sadari, salah seorang anggota piket saya selalu tak ikut acara ini padahal ia tak mengerjakan apapun selain mendekam di kamar dan mendengarkan musik. Walau saya benci membersihkan kamar mandi, saya tetap akan mengerjakannya bila memang hanya tugas itulah yang belum dipiketkan pada hari tersebut (biasanya sih saya cepat-cepat menyapu dan ngepel biar tak kebagian bersihin kamar mandi, hehe). Ya sudahlah toh piket sudah kami komitkan untuk dijalani. Apapun resikonya, kami tetap ingin ada kebersihan di kos.
Beda lagi kasusnya ketika salah satu senior lain juga tak setuju dengan pengadaan piket, makanya dari awal dia hanya membantu seperlunya saja. Kami tahu mbak ini sebenarnya juga menyukai kebersihan, tapi entah kenapa beliau tak setuju dengan pengadaan piket ini. Mungkin merasa terbebani tanggungjawab saja harus bersih-bersih pada hari yang telah ditentukan? Tak tahulah. Saya sebenarnya juga tak terlalu setuju, tapi itu mungkin karena sisi egois saya saja yang malas bersih-bersih, hehe. Makanya piket-piket begini masih bisa saya jabanin. Walau terpaksa, toh lama kelamaan efek baiknya menular juga.
Kini keadaan kos sudah jauh lebih baik dari pertama kali saya di sini. Kardus-kardus sudah lenyap, barang-barang yang tak penting sudah tak terlihat lagi, sepatu-sepatu yang menumpuk tak keruan sudah punya tempat tersendiri, dan alat kebersihan sudah terawat dengan baik. Cuma sayang kesadaran akan kebersihan masih tetap harus diingatkan.
Kebersihan: Butuh Reminder dan Kesadaran 1
Saya Pertama Kali di Sebuah Kos di Yogyakarta...
Suguhan pertama ketika saya menginjakkan kaki di Yogyakarta: asing, tapi rasanya saya bisa belajar merasa nyaman di sini. Tapi ketika dadakan harus cepat memilih tempat kos sementara, alamak… kening saya berkerut dengan keringat mencucur. Tempat yang saya lihat terlihat kumuh di mata saya. Dari lorong saya masuk menuju kos, terhamparlah jemuran nasi aking di pinggir-pinggir. Karena jalan masih pasir pula, saya mencium bau-bau kotoran kucing (aduh!).
Lega rasanya setelah sampai di kos. Kos ini termasuk jenis terbuka dengan lantai ubin hitam. Pun termasuk kos campur karena bagian depan khusus untuk laki-laki dan bagian belakang untuk wanita. Dipisahkan oleh kamar mandi dan tempat cuci-mencuci yang tak berubin (masih semen). Wah saya mesti ekstra hati-hati kalau habis dari kamar mandi, soalnya ini kamar mandi campuran dan sewaktu-waktu bisa saja saya kelupaan barang pribadi di sana. Sampai sini, saya masih berpositif thinking karena dimanapun saya berada, istana indah saya selalu berada di tempat bernama kamar pribadi.
Sampailah di bagian paling menentukan rasa kenyamanan saya: KAMAR. Saya kebagian di posisi yang lumayan saya suka: dekat kamar mandi dan pintu keluar, letaknya paling depan sehingga ventilasi utama bisa saya dapatkan. Begitu masuk ke kamar, rasa putus asa hinggap di benak saya. Luasnya memang pas, hanya saja yang saya sesalkan adalah ventilasi. Kaca nako memang tersedia, jendela lain juga terpampang di atas dinding sebelah utara, tapi sayangnya tertutup. Belum lagi catnya berwarna pink gelap sehingga model kamar seperti ini sudah terkesan sangat pengap sejak saya lihat. Bukan berarti saya berpikiran terlalu kota atau bagaimana, kenyataan saya selalu berada di rumah yang tak punya banyak sekat membuat saya memaksa bertahan selama seminggu saja di sini. Saya putuskan tak bakal kos di situ lagi bila diterima kuliah di Yogyakarta.
Alhamdulillah kakak saya punya teman di universitas pilihan saya. Maka saat saya diterima di universitas tersebut, mau tak mau saya minta tolong Mbak Wahyu (begitu nama teman kakak saya) agar mencarikan kos baru yang ‘layak’ untuk saya. Paling tidak lantainya sudah berkeramik, tak pelit kamar mandi, dan benar-benar kos khusus putri. Namun begitu saya datang ke kos di Yogyakarta, masih juga terselip rasa kecewa. Syarat-syarat di atas memang sudah terpenuhi, hanya saja saya masih rewel dengan keadaan lorong dan kolong-kolong tangganya.
Saya kebagian di lantai 2, yang sebenarnya situasinya jauh lebih baik daripada lantai 1. Keramiknya menghitam, seakan-akan tak pernah dibersihkan oleh para penghuninya. Belum lagi kolong tangganya yang penuh kardus-kardus pindahan yang disusun seenaknya. Sementara ember-ember mandi bercecer di bawah kolong (juga) karena tak punya rak untuk menaruhnya. Aih, saya berpikir apa tak khawatir hewan-hewan usil akan menjamah peralatan mandi mereka?