Kerudungku kelihatan kotor sekali. Bagian lipatannya menghitam, dan berbau tak enak. Musim kemarau ini memang saat-saat orang harus sering mandi dan mencuci. Kriiing! Telepon rumah berdering nyaring, ingin segera diangkat.
“Assalamu’alaikum warahmatullah,” aku menjawab.
“Hei , Hawa, kan? Kamu kesini ya, ada yang mau diomongin pak editor tuh.” Suara di seberang sana cepat kukenali sebagai pegawai di suatu penerbit.
“Soal cerpen?”
“Ya iya, kali. Kesini sajalah!” elaknya buru-buru dan telepon terputus. Aku mendesah risau. Kejadian ini sudah berulangkali terjadi. Setiap aku pergi kesana, mereka pasti tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Aku suka diusili. Pernah kutanya alasannya kenapa mereka berbuat seperti itu. “Kau itu anak baik, bisa bikin kita ketawa-ketawa!” begitu katanya. Waktu itu aku menanggapinya hanya dengan senyum. Aku bisa memaklumi, karena direkturnya galak. Selalu mondar-mandir dan mencari-cari kesalahan, bikin orang sekantor terdiam dan tegang sampai-sampai keringat dingin bermunculan. Belum lagi wanita-wanitanya dijahili sampai menjerit-jerit. Dasar hidung belang, bikin para pegawai lelaki iri (hush!).
Aku menyandang tas bututku (lagi) setelah kujahit robekan besar di pinggirnya. Kunaiki bis yang tadi siang, dan bis segera melaju mengantar para penumpang. Sekarang aku cuma mengisi dua ribu rupiah dalam kantung tas. Kulirik Almas emas-ku, ternyata jam 5 lewat sedikit. Mudah-mudahan tak ada yang serius. Aku akan beli belanja sekalian sepulangnya dari sana.
Home » fiksi » Kafe di Atas Awan 2
Wednesday, June 30, 2010
Kafe di Atas Awan 2
lainnya dari fiksi
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment