Saturday, February 27, 2010

Bangladesh si Negara Lebah

Catatan kenangan 21 April 2009

Hari ini dua orang kawan kos saya bercerita mengenai Bangladesh, negara kecil yang setiap jiwanya punya komitmen. Saya yg baru pulang dari kampus, seketika itu langsung duduk manis dan memasang telinga baik2.

“Hari ini aku melihat negara yang…asli, aku salut sama para penduduknya.” Begitu komentar salah satu kawan saya, Se.

“Neng, padahal di situ hanya pulau kecil yang – kalau dari atas kita lihat – kumuh, bahkan lebih mengenaskan dari India! Tapi aku salut mereka bisa bertahan dengan kerja keras dan hebatnya, mereka menaikkan pendapatan negaranya hingga 7% setiap tahunnya…,” sahut mbak kos saya, Mbak Yuni.

Begitulah kata mereka. Bangladesh merupakan negara kecil yang memiliki beberapa pulau kecil, bayangkanlah Jakarta dan Bangka sebagai contoh. Diceritakan Dhaka (ibukota Bangladesh, dengan permisalan Bangka) ialah pulau mini yang (kalau dilihat dari muka bumi) punya sejumput tanaman saja di beberapa titik. Anda bisa bayangkan rumah2 beratap seng yang kumuh sekumuh-kumuhnya di IBUKOTA. Nice, eh? Maka tidak heran bila Anda ikut merasakan hot temperature yang menyengat dan bukannya penataan kota asri, hotmix atau gedung2 pencakar langit seperti layaknya negara2 lain yang notabene disebut ‘luar negeri’. Kesan pertama saya: kumuh, lalu saya browse ibukotanya.
Seperti halnya Indonesia, orang2 berurbanisasi ke ibukota untuk menuai rezeki yang lebih berarti dibanding di desa. Maka, mereka mendirikan bangunan2 untuk tempat tinggal seadanya sehingga terbentuklah ‘perkampungan’ ibukota mirip2 pinggiran Jakarta, makanya pulau tersebut nyaris tertutupi atap2 rumah mereka dan kita kesulitan melihat hijaunya dedaunan.

Dalam kehidupannya, mereka menggunakan apapun untuk bisa dijadikan sebuah pekerjaan. Dua sahabat saya ini menceritakan kesibukan ‘pekerjaan’ mereka yang bagi kita tergolong tak biasa. Ukur tensi darah, ukur tinggi dan berat badan, bisa Anda temukan di pinggir jalan dengan membayar beberapa sen untuk itu semua. Dari apa yang saya dengar, industri garmen dan tekstil menjadi pokok pekerjaan yang ada di negara ini. Mereka membuat pabrik dengan jumlah produksi yang tidak sedikit dan bisa mencapai ribuan sesuai pesanan, sehingga pabrik yang dituju menyerap banyak tenaga kerja. Salutnya, para tenaganya tak mengeluh untuk persoalan gaji sekecil apapun. Hebatnya, produksinya merambah pula sampai Amerika.

“Apapun akan kami lakukan demi menyekolahkan anak2 kami,” begitu kira2 tujuan mereka saat disinggung mengapa mau diupah dengan gaji kecil. Ih, saya merinding mendengarnya.

Nilai plus lain untuk negara kecil ini ialah bank-nya yang superkeren untuk membantu usaha rakyat miskin. Dengan modal kepercayaan rakyat yang mau bekerja, bank ini benar2 telah membantu banyak dalam mengatasi persoalan pekerjaan. Mereka yang tak punya modal cukup, diberikan pinjaman dengan kepercayaan: mau bekerja. Sepele, namun indah kan? Taruhan kepercayaan sangat berarti bagi mereka, sehingga bila hilang kepercayaan tersebut, maka merugilah mereka dengan kerugian yang tak terbayangkan.

Dalam pembangunan, gedung2 yang mereka bangun tidak langsung bertingkat banyak dalam sekejap. Kita bisa melihat gedung2 yang masih keropos di lantai 2-nya atau tingkat 3, tapi di bawah itu, semua ruangan telah diaktifkan untuk tempat berusaha: apakah untuk menjahit atau berjualan. Ketika mereka memiliki uang lebih untuk membangun, barulah tingkat 2 yang keropos itu dibangun, ketika punya uang lebih untuk membangun lagi, dibangunlah tingkat 3, begitu seterusnya.

Jauh lebih kerennya lagi, ketika kita biasa melihat pendistribusian barang produksi menggunakan truk ataupun kendaraan jumbo lainnya, sementara di Bangladesh, kita bisa terkagum2 melihat kegigihan para distributor mengirimkan barang dengan menggunakan sepeda. Yang saya garisbawahi lagi, kaum Adam di sini rela menyelampangkan sarungnya untuk bersepeda. Secara, Bangladesh merupakan salah satu negara yang penduduknya beragama Islam. Pejuang sekali kan? Sepertinya saya bakal mendapati ikhwan sejati bila berkunjung kemari =D.

Pasokan barang dewasa ini juga tak hanya sebatas kota, namun telah merambah ke desa untuk menggali potensi kerajinan gadis2 desa. Nyaris merata kalau dilihat dari segi area pekerjaan, ya kan? Sehingga dua sahabat saya kok bisa2nya tak melihat sorotan pengemis dan gelandangan satupun di negara ini. Subhanallah, Allah telah memberi saya telinga untuk mendengarkan hal luarbiasa seperti ini. Jangan kira, untuk mengurus sebuah keluarga saja tidak banyak orang yang profesional menjalaninya, lho.

Nah Indonesia, kapan berhenti meminta dan membuang harta? Kita punya berhektar2 tanah untuk dipotensikan, punya beragam budaya untuk diinvestasikan, punya orang2 cerdas untuk mencerdaskan sekelilingnya, punya 5 agama untuk memberi contoh pada negara lain, dan punya beribu2 potensi terkubur yang bisa digali.

Saya sampai berdebar2 mendengar celoteh mutu mereka. Perlu saya ingatkan, saya cuma mendengar resume-nya saja dari 2 karib saya lho. Saya tidak melihat tayangannya secara langsung, tapi begitu mengena kuat dalam akal. Jadi, ayo bergerak sekarang juga!

sumber: Sheila Moon & Mbak Yuni yg habis nonton

mohon maaf bila ada kata2 yang tdk berkenan dlm tulisan ini

 
Powered by Blogger.