Thursday, March 11, 2010

Negeri 5 Menara

Rating:
Category:Books
Genre: Biographies & Memoirs
Author:A. Fuadi
Editor: Mbak Mirna

Bercerita mengenai Alif dan kata sakti man jadda wajada. Diawali ketika ia dan ibunya berselisih paham mengenai sekolah yang harus ia pilih. Ia ingin bersekolah di SMA negeri yang bisa membuatnya meneruskan cita-cita ke perguruan tinggi dan menjadi sarjana. Akan tetapi, ibunya ingin ia menapaki jejak para kiai yang menjunjung tinggi agama dan menjadikannya seorang ahli agama. Rasa kecewa yang tak pernah Alif rasakan sebelumnya, membuatnya mengambil sebuah keputusan besar. Berdasarkan informasi pamannya yang pernah menginjak bangku pesantren, Alif akhirnya memenuhi keinginan ibunya dengan syarat bahwa ia akan belajar di pesantren yang direkomendasikan pamannya.

Dan, dimulailah perjalanan mencari jati dirinya di pesantren tersebut. Pertemuan dengan teman-teman terbaik yang dijumpainya disana, kakak-kakak tingkat, guru-guru dan juga didikan yang telah diajarkan. Tak ada hari tanpa keringat dan sarung. Tak ada hari tanpa berjuang dan melesatkan diri. Bukannya tak ada romantisme sama sekali, tapi di buku pertama ini, romantisme itu belum begitu terasa sebab lebih menekankan pada penceritaan keseharian di pesantren saja.

Cerita ini mengingatkan saya pada novel Laskar Pelangi. Sama-sama menceritakan pengalaman masa kecil, punya sarat pantang menyerah pada nasib, dsb. Hanya saja ada beberapa hal yang menurut saya sih agak-agak menonjol di novel ini. Saya garisbawahi pada pemakaian man jadda wajada: siapa berusaha pasti bisa *begitu kira-kira artinya*. kedua, hukuman adalah panglima tertinggi bagi kehidupan mereka. Terakhir, totalitas mereka dalam mengerjakan sesuatu.

Awalnya kalau saya melihat (dari luar sih) kehidupan pesantren itu sangat terkungkung dan (maaf…!) sepertinya kok pelajarannya itu-itu aja. Ternyata setelah membaca buku ini, saya jadi malu karena boleh jadi kemampuan mereka dalam menimba ilmu pengetahuan boleh jadi melebihi apa yang saya bayangkan sebelumnya. Saya perlu waktu bertahun-tahun untuk bisa membiasakan diri berbicara bahasa Jawa dan bahasa Inggris. Alif dan teman-temannya bahkan hanya butuh sekitar 3 bulan saja untuk (nyaris) menguasai bahasa Arab dan Inggris. Hadoooh saya kesindir berat! Saya butuh kuliah agar bisa mendalami bahasa Inggris, tapi anak-anak setaraf SMA seperti mereka ini malah sudah medahuluiku menguasainya… euggghhh muka saya kayanya kepanasan deh.

Lalu, kenapa saya sebutkan bahwa hukuman adalah panglima tertinggi bagi mereka? Perlu diketahui, tata tertib (aturan) yang berlaku di sana tak pernah ditulis dan hanya diingat cuma sekali pada saat mereka pertama kali datang ke sana. Pengaturannya saja tidak main-main. Baru beberapa hari Alif dkk telat sholat berjamaah beberapa menit saja, mereka sudah kena hukuman dari para mata-mata pesantren (yang tentunya senior mereka di bagian keamanan). Alasan masih baru maupun ketidaksengajaan tak akan berlaku di sana.

Kemudian yang terakhir ialah totalitas sejauh mana mereka bisa menghasilkan usaha terbaik yang bisa dilakukan. Misalnya pada saat Alif mendapat nilai pas-pasan saat ujian pertama diselenggarakan. Nilai kecil tak membuatnya lantas terjun dari gedung pencakar langit (heu heu… bunuh diri maksutnya), tapi ia terus berusaha belajar dari para sahabatnya. Saling membantu, mendukung dan mengingatkan adalah hal indah yang saya dapat dari cara mereka bersahabat. Ketika Alif harus dengan super-cepatnya meliput orang penting (duh lupa menteri apa wakil dari luar negeri gitu), kemudian harus bisa menerbitkan koran pesantren pada orang penting tersebut sebelum ia turun dari panggung kehormatan. Uh, ngebayanginnya saja capek sekali. But it’s done.

Jadi, mau sampai kapan terus mengeluh dan menyalahkan aturan? Sejauh potensi kita masih punya anugerah untuk difungsikan, maka maksimalkan saja apa yang sudah ada. Bener engga? Yuk, bangkit sama-sama menata diri.

Jukstaposisi (juara 3 sayembara novel dewan kesenian Jakarta 2006)

Rating:
Category:Books
Genre: Science Fiction & Fantasy
Author:Calvin Michel Sidjaja

Cerita…tuhan…mati

Kisahnya tentang tuhan yang bermimpi jadi anak 14 tahun (catat: dalam mimpi lho, ya) bernama Ashra Trivurti. Hidupnya normal, sebenarnya: dia seorang anak pindahan dari Bali, tinggal di apartemen di Jakarta dengan neneknya, naik sepeda bila ke sekolah, punya teman, punya cinta, dan punya mimpi. Di sini, Mas Calvin nyeritain anak ini punya kelebihan: bisa melihat kepastian.

Ashra bermimpi, dia adalah tuhan, tuhan hasil Bhumi dan Kala, Ashra adalah entitas mimpi para tuhan yang bermimpi sekaligus deitas yang mewujudkan mimpi itu.

"Cerita tuhan mati
Dulu kala hidup banyak tuhan
Mereka hidup hanya mengenal siang tanpa malam
Tapi waktu pun lahir. Malam pun dating
Cahaya marah dan membunuh waktu
Satu tuhan ketakutan lalu bermimpi
Suatu mimpi di mana mereka bukan tuhan
Mimpi menjadi manusia dan tahu waktu
Seluruh tuhan ikut bermimpi selamanya
Dan di sana mereka bermimpi. Menyembah diri mereka sendiri
Walau tuhan-tuhan pun telah mati"
(Jukstaposisi: 152)

Maka, Chhya (tuhan cahaya) tak ingin Ashra (yang ternyata sang Waktu) menjadi causa prima, yaitu tuhan yang paling berkuasa. Maka, mulailah kompetisi di antara mereka. Hal ini membuat beberapa tuhan bangun.

Ceritanya asyik, oke banget. Awalnya memang rada nggak dong. Tapi lama-lama sudah bisa tersibak the mist-nya. Rasa-rasanya sewaktu awal saya baca novel ini suasananya mirip-mirip novelnya Dee alias Dewi Lestari. Mungkin karena nuansa Hindu, makanya rada mirip gimanaa gitu.
‘tuhan’ di novel ini mungkin maksudnya dewa, pokoknya yang mirip ‘pengatur’ semesta-lah.

Cheers buat mas Calvin, udah berani sekali membalik realitas menjadi maya. Orang dibuat berpikir beberapa kali untuk mengetahui maksud ceritanya apa.


Nightmare.

Devil in me

Rating:
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Christina Tirta


Ini salah satu karya yang juga agak ‘beda’ yang pernah saya baca dari novel-novel semi dewasa pada umumnya. Pertama kali saya klaim mungkin ceritanya bakal seperti distorsi kepribadian akibat peristiwa tragis atau semacamnya (seperti pada Sybill atau film ‘Soulmate/Belahan Jiwa’), namun nyatanya saya keliru.

Novel ini ber-setting profesionalitas pekerjaan seorang Mae yang direcoki jiwa kembarannya yang telah meninggal. Mae diceritakan sebagai tokoh invisible sebelum Laura, kembarannya meninggal dunia akibat kecelakaan (atau drugs? Atau percobaan pembunuhan? Semuanya bisa kalian kategorikan kalau membaca buku ini). Dengan campur tangan Laura, ia bahkan menjadi orang paling menonjol bukan hanya prestasi namun juga karier di VMH, hotel dimana ia bekerja. Pada usianya yang ke-25, ia telah diangkat menjadi public relation manager yang sukses membuat seluruh staf terkesima.

Namun bukannya tak ada usaha yang dilakukannya dalam meraih semua impiannya itu. Saudaranya Laura tega mem-blok semua keputusannya dan merencanakan hal-hal gila bagi seorang Mae yang pengalah. Hampir sekitar 3 bab, pengarangnya menulis sub judul ‘nasty plan’ dalam buku ini. Beliau menceritakan detail rencana2 tak wajar Laura dengan berkomplot dengan penjamah drugs, petugas rendahan, bahkan pamannya sendiri.
Semuanya terkuak di akhir novel. Kenapa orangtuanya hanya memberikan tabungan 500 ribu rupiah saja pada Mae dan bukannya tiara berlian seperti milik Laura? Kenapa hanya Laura yang dibelikan barang2 berkilau mewah sementara Mae tidak? Kenapa pula pada ujungnya Mae diperlakukan seperti saat Laura masih hidup?

Kalian bisa bayangkan sangat tidak adil sekali ketika orangtua memberi 50 perak rupiah sementara saudara kita diberi jaguar silver khusus. Yah, perumpamaan yang kelewatan sih, tapi kira2 seperti itulah hidup Mae selama 25 tahun usianya.

Saya mengetahui kenyataan mengejutkan pada akhirnya. Hilangnya saudara kembar ibunya, affair terlarang dengan paman sendiri, pencampuran ganja dengan alkohol yang mengakibatkan Ayumi koma di rumah sakit selama setahun. Semuanya berawal dari rasa iri yang berlebihan, simple but deadly dangerous. Rasa iri memang menggerogoti jiwa2 pemiliknya, betul tidak?

Membaca novel ini seperti ingin menampar the plain Mae (ini yang saya rasakan lho). Tokoh ini terlalu hidup pada masa lalu sehingga tak memberikan kekuatan sebagai seorang wanita mandiri yang sederhana. Makanya novel ini sukses membuat saya gemas ketika berkali-kali Laura berhasil menguasai tubuh, pikiran dan kehendaknya.

Biasanya saya silau pada novel yang mengangkat tema lux yang berlebihan, karena ini bukan Hollywood. Harta dan kesan ‘wah’ tak begitu dijelaskan secara detail, menurut saya. Deskripsi penataan latar tokoh-lah yang menarik bagi saya karena paparannya juga disampaikan dengan cerdas dengan tak melupakan pengetahuan2 umum, baik itu fashion maupun ilmu business.
Terus terang saya tak suka melihat/membaca tentang pemerkosaan. Makanya saya benci ketika tokoh ini nyaris diperkosa beberapa kali oleh orang2 yang over amazed padanya. Tapi syukurlah, ujungnya bukan pada cinta percobaan semata (baca: pacaran), tapi ke-gentle-an seorang pria dalam menyampaikan hal yang lebih berani: pernikahan.

Capek, iya. Tapi membaca novel ini tidak secape saya waktu membaca karya fiksi ‘dan ketika hujan berhenti’ yang mengangkat kehidupan remaja yang meledak2. Karya ini menyuguhkan flashback masa lalu yang rumit sehingga saya menyangka hukum karma berlaku di sini. *upps bukannya ngebandingin karya orang…*

Selamat membaca.

Dan hujan pun berhenti…

Rating:
Category:Books
Genre: Literature & Fiction
Author:Farida Susanty

“Kamu mau bunuh diri?”
“Ya, asal tidak hujan.”


Hosh…hosh…
Sumpe deeeh, saya baca novel ini capek banget. Tau kenapa? Dari awal dari akhir, penulisnya sengaja ngasih saya ‘cobaan’ (buset…) kata2 liar plus gede2 (walo ga semua sih…)
Jepun-nya ada. He…ini yg saya suka, setipe gitu deh. Menurutku, ceritanya oke juga, ngambil tokoh utama yg menurutku biasanya jadi orang ke dua ato ketiga. Tokoh yg sangar, keras, egois (lho?lho? kok kayak kakakku ya?) tapi punya sisi manusia: cinta dan merasa kehilangan.

Alurnya campur, cerita diperkenalkan dari perselisihan geng Leo dan geng Tyo. Leo balas dendam dengan merusak mobil Tyo dengan membakar kaca depan mobilnya. Anyway, aku baru tahu ternyata ada juga berandalan yg mau berantem pake botol kecap (beling sih, tapi… EH, BOOO…buset! Masa iya sih?).

Cerita berlanjut waktu Leo nemu cewek yg mau bunuh diri di WC setelah sebelumnya dia gagal bunuh diri karena hujan. Lalu meningkat pada persoalan yg sama dan dialami oleh 3 cewek lainnya. Dan kesemuanya tergantung pada satu nama: Iris.

Bukannya novel ini nggak tau rasa kemanusiaan, tapi ada yg wajib kalian tahu kenapa Leo nggak menghargai orangtua, tapi menyayangi kedua saudaranya. Dia sadar punya hati, tapi jarang pake nurani. Cari sendiri aja ya… hehehe.

I open my eyes, i’d try to see
But I’m blinded by the wide line

aduh entah kenapa reviewnya ga enak dibaca begini, lain kali saya edit deh. Bukunya udah lama dibaca, cuma reviewnya baru sekarang, heu heu..

The boy in stripped pyjama


Rating:
Category:Movies
Genre: Other
Sutradara: Mark Herman
Artists: Asa Butterfield (as Bruno), Jack Scanlon (Shmuel)

Film ini berlatar masa Hitler yang terkenal dengan pembantaian umat Yahudi di Jerman. Kalau kalian lihat sekilas di cover cd, mungkin pertama kali yang tersirat adalah kisah hantu yang rada ngeri atau gimanalah. Ternyata setelah kalian tonton, film ini tak sengeri itu.
Adalah Bruno, seorang anak kapten tentara Nazi, anak berumur 8 tahun yang sangat menyukai petualangan. Ia sering ikut pindah ayahnya (yang notabene kapten tentara) dinas ke luar kota. Hal ini membuatnya sedih karena saat ia tengah akrab-akrabnya dengan teman2 sebayanya, mau tak mau ia harus ikut ayah serta keluarganya. Begitu pula ketika ia harus meninggalkan Berlin karena ayahnya bertugas mengawasi di luar daerah itu, ia merasa berat karena harus meninggalkan teman2nya.
Mereka akhirnya pindah ke tempat terpencil yang punya peternakan. Bruno, yang jiwa petualangnya terpanggil untuk menjelajah tempat tersebut, malah hanya diizinkan bermain sebatas rumah dan halaman depan yang dijaga tentara. Sekalipun mereka punya halaman belakang yang punya cukup lahan, ia tak diizinkan keluar dari dua daerah itu.
Hal aneh yang pertama kali dilihatnya adalah seorang pesuruh setempat yang memakai piyama bergaris vertikal abu. Walau ia menanyakannya berkali2 pada ibunya, ia tak pernah menjawab dengan jelas. Bahkan ayahnya sampai berkata: “…karena mereka bukan manusia.” Merasa mereka takkan memberi jawaban lebih jelas mengenainya,Bruno tak pernah mempermasalahkan ini lagi pada mereka.
Saking terpencilnya, orangtuanya sampai mendatangkan guru bagi kedua anaknya. Yang menjengkelkan, Bruno diharuskan agar tak lagi membaca buku2 petualangannya. Padahal, hanya itulah satu2nya hiburan buatnya yang sudah bosan menjelajah sekitar rumahnya.
Suatu hari ia menemukan pintu lain menuju halaman belakang rumahnya. Saat diam2 melangkah ke sana, ia ketahuan ibunya dan harus kembali ke dalam rumah. Menyadari bahwa ia dilarang, Bruno makin ingin tahu halaman belakangnya. Maka, ia berpura2 ingin membuat ayunan dari ban bekas. Dibantu pesuruh setempat, ia berhasil masuk ke sana dan berhasil menemukan celah keluar dari rumahnya digudang belakang.
Saat ibunya pergi ke kota untuk membeli kebutuhan keluarganya, Bruno tak menyia-nyiakan kesempatan ini untuk pergi ke kebun belakang. Melalui jendela kecil di gudang,ia berhasil keluar.
Ia mendapati behwa ternyata rumahnya dikelilingi hutan yangluas, sampai ia sampai pada suatu batas yang dipasang kawat berduri. Di sana, ia menemukan seorang anak kumal sebayanya yang juga mengenakan piyama, Shmuel namanya. Merasa senang, Bruno menjadikannya teman bermain walaupun Shmuel tak bisa keluar dari daerah kawat itu.
Akhirnya setiap ada kesempatan, Bruno menyelinap keluar untuk bermain dengan anak berpiyama dengan tak lupa membawakannya makanan. Ia bermain bola atau catur.
Sampai saat ayah ibunya bertengkar mengenai pekerjaan ayahnya, Bruno terkejut karena ibunya merasa pekerjaan itu kotor dan menganggap ayahnya setan.
Suatu hari, Bruno mendapati Shmuel bekerja di rumahnya. Senang, Brunopun memberikan sepotong kue padanya. Ketahuan makan oleh kaki tangan ayahnya, Shmuel dipukuli dengan kasar. Saking terkejut campur takutnya, Bruno tak mengakui bahwa Shmuel adalah temannya dan ia terpaksa berbohong bahwa bukan ia yang memberikan kue itu padanya.
Singkat cerita, keadaan harus berubah lagi dan mereka sekeluarga harus pindah lagi ke daerah lain. Dalam pertemuan terakhirnya, Bruno merasa ia harus minta maaf pada Shmuel. Maka ia kembali ke ‘peternakan’ berkawat duri itu dengan membohongi ibunya yang tengah bersiap2 pindah esok harinya.
Di sana, ia berkata bahwa ia akan pergi lagi ketempat jauh sehingga mungkin tak bisa bertemu lagi dan mereka saling mengikat janji bahwa mereka adalah teman selamanya. Shmuel juga bercerita bahwa dari hari2 kemarin ayah Shmuel belum jugapulang dan ia mencemaskannya. Bruno yang merasa berhutang nyawa, ingin membantunya mencari di ‘peternakan’. Shmuel yang merasa senang bisa dibantu olehnya, bersedia menyiapkan penyamaran Bruno esok harinya.
Esoknya, Bruno menggali tanah agar ia dapat menyelinap ke ‘peternakan’. Dengan pakaian yang dibawa Shmuel, ia dapat melihat langsung keadaan ‘rumah’ Shmuel. Sementara itu, orangtuanya panik saat mengetahui Bruno tak berada di rumah.
Lalu endingnya…? Kalian sendiri yang harus menonton film ini.

Buat saya, film Yahudi ini agak setipe ‘Beautiful Life’ yang bergenre drama tragikal. Cuma, di film ini sama sekali ga ada humor-humornya. So pasti sedih mulu bawaannya.

Tuesday, March 2, 2010

Ketika hujan datang...

Hujan bulan Oktober nggak nyenengin buat saya yang tinggal di kamar kos pilihan sendiri. Awalnya, saya yakin banget nih tempat bakal asyik buat ngawang-ngawang nulis karangan. Kamarnya adem, 3x3 meter nggak kecil-kecil amat kok, deket kamar mandi, deket tangga ke bawah, bau apek (biasanya saya filosofikan sebagai pengharum ruangan secara alamiah)… yang pastinya saya yakin udah ngerasa bakal betah di sana. Tapi emang bener kata orangtua, kata-kata doang nggak selalu jadi nyata. Kamar impian ini bener-bener nggak layak pakai!
Uyi sama Se, tetangga kamar saya, sampe ngelus-ngelus dada tiap mereka mampir ke sini, belum lagi wajah-wajah mbak-mbak kos saya sampai mengeriput saking herannya saya masih bisa tahan di kamar situ.
“Nggak pindah kamar aja ‘po, Ve?” komentar Se sewaktu ngeliat keadaan untuk yang ke-(?) kalinya.
“Iya… kesian amat sih tidur di atas genangan aer gitu,” tambah Mbak Crapule, nama ejekannya Mbak Iffah.
“Hehe…musafir nih, penuh pengorbanan dan perjuangan selama tahun pertama kos,” saya bales rada-rada becanda. Walah, seandainya orang bisa baca hati orang lain, pastinya mereka udah tahu batinku mengaum ganas saking gondoknya dibiarin gini sama pemilik kos.
Ceritanya, bapak saya udah bayar sewa setahun langsung di awal masuk. Jadi, saya gak bisa apa-apa lagi kecuali bertahan dulu minimal setahun, baru mutusin mau pindah kos atau gimana. Masa iya nagih uang ke ibu kost, terus keluar gitu aja?
“Kamarmu adem deh, enak banget buat tidur,” komentar Pie sewaktu masuk ke kamarku. Dia itu teman sekelas saya yang belum lama ini lumayan akrab. Biasalah, ada tugas kelompok memang suka jadi bahan kesesuaian pergaulan.
“Enak sih enak, tapi kalo bocor ‘kan nggak enak juga…”
“Hah? Bocor? Kok nggak pindah kos aja?”
“Nggak deh, ntar aku bilang sama ibu kosnya aja.” Pie cuma manggut-manggut. Saya percaya dia ngehormatin keputusan saya walau saya yakin dia bakal maksa saya pindah kalau kami bener-bener akrab.
Pertengahan Oktober bener-bener bikin saya lebih sering ngurut-ngurut dada. Di kamar udah ada 3 ember buat nampung air hujan yang bocor, payung sengaja saya biarin terbuka biar airnya nggak namplok ke kasur. Biar lebih nyaman tidur, saya empet-empetin lemari sama kasur ke dinding selatan, deket dinding tetangga kamar.
Parahnya, airnya nggak bisa ketampung semua dan mau-nggak-mau nyiprat ke kasur saya. Duh, nyerah-lah! Temen-temen saya pada dasarnya baik-baik. Buktinya, mereka sudi bantuin saya buat ngomong ke ibu kos biar kamar-kamar yang bocor (ternyata bukan cuma kamar saya) bisa ditindaklanjuti secepatnya.

Hari pertama, kita sms---terkirim!!! Menit berikutnya ada balasan bagus dari ibu kos. Katanya, besok bakal ada tukang yang mau “nambal-nambal” kamar bocor. Dalam hati saya bersorak ramai karena kamar bakal cepet dibenerin. Syukur...syukur...
Hari kedua, nggak ada yang datang---nggak apa-apa.
Hari ketiga, nggak ada yang datang---nggak apa-apa. Butuh persiapan banyak, kali ya?
Hari keempat, nggak ada yang datang (lagi)---mulai ragu plus waswas. Ibu kos tuh bener-bener ngirim orang nggak, sih?
Hari kelima, nggak ada yang datang---mulai gelisah. GIMANA NASIB KITA NIIIH?!
Baguslah, biar datangnya kebangetan telat, tapi tukang-tukangnya datang minggu depannya. Saya sempet heran juga, kok bisa mereka nambal waktu lagi hujan.
Otomatis, tambalannya nggak oke. Ya iyalah! Kamar saya tepat di bawah bak penampungan air. Payahnya, alasnya nggak dipertebal secara khusus.
So? Bocor gede-gedean? Ya iyalah!
Hari-hari berikutnya saya coba biar bertahan dulu sebelum sms balik ibu kos. Minggu-minggu ini emang penuh keluhan. Selain anak-anak atas yang ngeluh karena bocor, anak-anak lainpun ikut punya masalah baru: listrik.
Udah nggak aneh listrik di sini tiba-tiba padam karena tegangannya nggak kuat. Selama beberapa hari ke depan, kami coba untuk bertahan dalam gelap. Buat saya sama beberapa anak lainnya nggak terlalu bermasalah. Tapi buat orang-orang yang nggak biasa ke kamar mandi gelap-gelap, gradak-gruduk itu cara paling ampuh buat ngatasin rasa takut mereka.
At last, ibu kos punya inisiatif buat mindahin kamar saya ke gudang plong tepat di depan kamar bocor saya. Sebenernya saya rada-rada keberatan berhubung ventilasi udaranya bisa dibilang kurang. Kebayang bakalan pengap banget.
“Bu, boleh minta ventilasinya ditambahin di sebelah barat ga? Kan mumpung belum disemen juga,” kata saya.
“Lhoo kan ventilasinya dari nako juga bisa tho, Mbak?” jawab ibu kos.
“Iya, tapi kan masih pengap Bu, gudangnya kan ga ada jendela keluar kayak kamar-kamar sebelah sini.”
“Ah tapi kan ini deket tangga Mbak, jadi udaranya juga gede bisa masuk banyak.”
“Kata siapa, Bu?”
“Lhaa iya tho, kamar Mbak ini deket tangga ke atas ini lho, di sini kan ventilasinya lebar jugaaa.”
“… gitu ya?”
“Iya Mbak, ga usah aja ga papa ya? Nanti di atas pintu kamarnya juga ditambahin celah kok.”
“Ya udah deh.”
Saya pikir ibu kos lebih tahu keadaan kos-kosannya kali ya? Jadi mungkin bisa dijamin kamar saya bisa jadi tempat yang nyaman ditempatin deh. Ternyata, nyeseeel banget saya ngakhirin gitu aja. Kalo aja inget ni kamar deket kamar mandi, saya masih bisa debatin kata ibunya. Wong bau-bau enggak sedap udah pasti masuk ke kamar kok. Nah, kalo ventilasi cuma di depan doang, baunya mau dikeluarin darimana coba? Tambah lagi, cuaca ekstrim panas sampai bikin pengap kamar jadi pintunya mesti siaga terbuka nonstop. Lha kalo saya kuliah masa mesti dibuka mulu? Kalo ada yang maling kasur, baju, potokopian, ato pas poto gimana coba?! Tapi ya...jalanin aja deh. Itung-itung sauna.

Itu dulu... sekarang saya masih bertahan di kamar bekas gudang yang dibangun dadakan itu. Memang tak pernah bocor lagi sejak lantai 3 yang notabene tempat jemuran, kini nangkringlah 4 kamar baru yang (subhanallah) lebih panas dari kamar saya sekarang. Bukannya saya tak mau pindah, tapi lingkungan sekeliling saya yang membuat saya sulit untuk menemukan tempat baru. Kenyamanan sosial ternyata bisa mengalahkan ketidaknyamanan fisik lingkungan ya...


Satu Jalan Tiga Cerita

            Rasanya sudah lama sekali aku tak pulang ke desa kelahiranku. Akhirnya, aku bisa pulang juga hari ini. Aku dibekali banyak uang oleh Bunda, jadi masih lumayan banyak sisa. Karena aku sering merasa tak puas kalau hanya berbuka sedikit, makanya aku sudah beli 3 buah roti barangkali kemaghriban di jalan sebelum mudik. Sengaja puasa, biar bisa sekalian belajar menahan diri kalau ada apa-apa.

            Di perempatan jalan besar, aku bertemu seorang pengemis. Dia tak bawa apa-apa kecuali selembar baju kumal yang dikenakannya dan plastik untuk meminta uang. Begitu melihatku, dia menghampiri dan terlihat merana sekali. Kantung plastik lusuhnya terlihat menggembung.

            “Bapak kok kelihatannya merana banget?” Iseng, kusapa saja sekalian sebelum kuberi uang. Hihi, sepertinya kok bodoh sekali kutanya seperti itu.

“Ooh iya Neng, saya belum makan. Neng pasti punya makanan, bisa minta nggak ya? Tolonglah…,” katanya memelas. Tanpa tanya-tanya lagi, kukasih selembar ribuan, tapi dia geleng-geleng kepala.

“Lho, ini kan buat Bapak? Kok nggak mau?” kataku heran.

“Saya ingin makan Neng, bukannya uang,” katanya membalas. Setelah kupikirkan baik-baik, akhirnya kuberikan salah satu rotiku, toh aku masih punya dua. Namun, lagi-lagi ia menggeleng.

“Lho? Kok masih nggak mau?”

“Iya, tapi saya mencium bau-bau daging, kok ya? Saya pengen yang daging atuh, udah setahun nggak makan daging…”

            Duh, nawar lagi! Tadinya roti daging itu sengaja kubeli sebagai menu spesial buka puasa.

“Neng, nggak mau ngasih ya?” katanya memelas sedih. Rupanya pengemis itu sakti juga, dia tahu yang kupikirkan! Uuugh, ‘ga tega liatnya.

“I…ini, nggak apa-apa, ambil aja deh, Pak. Mungkin ini rejeki Allah buat Bapak lewat perantara saya…,” kataku agak berat, sebenarnya. Tapi kan…kasihan! Daaag, roti daging ayaaam….

“Yes! Yes! Asyiiik!!!” serunya gembira sambil jejingkrakan lincah. Aku bengong. Tadi lemes, sekarang seger banget.

Dasar, segitu amat sih…itu namanya kesenangan diatas penderitaan orang, batinku kesal. Lalu aku beranjak pergi. Tapi sebelum aku jalan lebih jauh, dia memanggilku lagi. Aku berbalik.

“Makasih Neng, kudo’akan agar hatimu diikhlaskan Allah., ya. Assalamu’alaikum!”

            Tak ada yang lebih menakjubkan dari ini. Aku melihat pengemis itu merentangkan sesuatu seperti…sayap! Ia mengibaskan ‘sayap’nya, perlahan naik ke langit sambil tersenyum bening. Untuk beberapa detik kurenungi fenomena cepat yang luar biasa itu. Apa Allah sedang mengujiku? Duhai Allah, aku tak bisa berkomentar apa-apa lagi rasanya.

*               

            Aku lari tunggang langgang begitu tahu ada orang gila yang mengamatiku. Orangnya cakep sih, seperti orang waras saja. Kulitnya putih, matanya bening, rambutnya rebondingan hitam mengkilat….Untunglah ibu penjaga warung memberi tahu tadi. 

            Aku bersandar ke tiang sebuah surau biru. Tuh, kan…saat aku sudah dapat tempat sejuk, awan malah menutup matahari. Giliran aku jalan, nggak ada awan sama sekali. Astaghfirullah, aku kok banyak mengeluh hari ini. 

            Kulirik ransel hijauku dengan penuh minat. Lho, kok kebuka ya? Ketika risletingnya akan kututup, kulihat sesuatu yang indah di dalamnya. Tanpa sengaja, aku bersenandung “Pelangi-pelangi” waktuku kecil dulu:

Es jeruk-es jeruk…Alangkah indahmu

Jeruk ditambah es, itulah isimu

Dari perantauan, dimanakah itu?

Es jeruk-es jeruk, sebelah kosan

            Setelah sepersekian detik kupertimbangkan, dengan gerakan kilat, kuraih botol plastik berwarna jingga itu. Deuu…pasti seger kalo diminum!

Tapi tunggu, itu makruh namanya! Kata ayah, membatalkan puasa dengan sengaja berarti dosa. Dasar, kenapa mau dosa saja aku mesti ingat kata-kata ayah duluan? Akhirnya, kuletakkan kembali botol itu ke tas dan kututup tasku rapat-rapat.

            Rasa-rasanya, aku diperhatikan seseorang sejak duduk tadi. Perlahan, kutolehkan wajah ke sebatang pohon di seberang surau.

HAH! Orang gila yang tadi mengamatiku itu ada disana! Takut-takut, kulihat rautnya sekali lagi. Ada yang lain di wajahnya, yang bukan sebagai orang gila. Dia tersenyum.

Matanya menatapku hormat (?), mungkin begitu. Dia melambaikan tangannya lalu berbalik pergi.

            Duh Allah, rasanya aku jahat sekali. Kukira kegilaan seseorang mampu membuat seseorang mati. Ahh, prasangkaku terlalu kejam untuk sebuah senyuman.

*               

            Kakak beradik, itu pasti. Sedari tadi menenteng kecrekan dan bernyanyi riang ditengah orang-orang yang kegerahan. Lagu pertama berlalu tanpa ada reaksi dari para penumpang bis. Tak lelah, si kakak mulai menyanyi lagu kedua. Si adik menadahkan kaleng bekas untuk mengumpulkan uang. Begitu ia sampai pada seorang lelaki berparfum menyengat yang duduk 3-4 bangku di depanku, si lelaki gendut itu mendengus tak tanggung-tanggung.

            “Masih bocah kok minta-minta. Nggak pantes.” Begitu katanya sesumbar tanpa mengeluarkan koceknya. Beberapa penumpang mulai tertarik untuk memperhatikannya. Asyik diperhatikan, duh tolong, kepalanya makin besar!

            “Waktu gua masih kecil, gua yang kasih duit ke orang, bukannya minta! Bocah-bocah mestinya urusin pe-er sekolah, ABG seneng-seneng, dewasa kawin dapet kerja, tua bikin mesjid gede! Nah elo pada?” katanya sinis sambil mendorong sedikit tubuh si adik yang kurus kering. Suasana senyap. Walaupun bukan aku yang mengalami, tenggorokanku serasa tertohok tajam ucapannya. Enak amat kalau hidup begitu gampangnya. Abang ini belum pernah merasakan yang namanya cobaan atau memang sifatnya sangat sabar sampai-sampai apa yang dibicarakannya penuh duri dan menyakitkan hati?

            Apa maksudnya ini? Begitu inginnyakah dirinya dipandang besar hingga bisa-bisanya sesumbar pada orang yang tak setara dengannya?

“Kalo Bapak nggak mau ngasih juga nggak maksa, kok,” kata si kakak pelan, membela diri. Jawaban tak terduga itu meluncur darinya. Subhanallah.

“Ya udah sana! Turutin tuh saran gua,” balasnya angkuh, mengibas-ngibaskan tangan agar kedua anak itu menjauh. Si kakak segera berbalik tanpa kata-kata lagi. Namun, kulihat si adik masih tetap di tempat si lelaki itu.

“Elo ngapain?” katanya seraya menatap si adik.

“Semoga nasehat Bapak menjadi kebaikan disisi Allah,” katanya polos sambil tersenyum manis. Si lelaki tampak terdiam, tak menanggapi ucapannya. Ia hanya melengos, mengalihkan tatapannya ke luar jendela. Malu mungkin.

            Tak lama kemudian mereka menghampiriku. Cepat-cepat kususut airmataku yang sedikit menggenang. Sepertinya aku masih terkesima melihat adegan yang disutradarai Allah tadi.

            Mereka menadahkan kalengnya. Kurogoh kantung gamisku…my Lord, aku kecopetan! Dompet, handphone… Sedih rasanya, ingin memberi tapi malah aku yang kehilangan. Lama kupikirkan setidakanya aku bisa memberi sesuatu selain uang, akhirnya …

            “Dek, kalo uangnya diganti roti…Adek mau nggak?” tawarku. Mereka menatapku agak curiga. Aku jadi tak enak, apa mungkin mereka menyangka aku seorang penjual anak?

“Ehh… Teteh lupa uangnya habis untuk ongkos bis ini,” kataku berbohong, “…yang Teteh punya sekarang mungkin cuma roti ini,” lanjutku.

            “Dompetnya ilangya, Teh?” tanya si adik. Sebisa mungkin kurentangkan bibir selebar mungkin, bermaksud menutupi kejadian buruk yang menimpaku kali ini.

“Teteh kecopetan yah?” tebak si kakak telak sekaligus membuatku merasa malu lagi. Eggh! Kenapa kejadiannya aneh-aneh begini? Bahkan di bis!

“I…iya sih, tapi ‘ga pa-pa kok. Ehh…ini rotinya,” aku mengakui kebohonganku secara tak langsung sambil menyerahkan 2 roti terakhirku. Mereka menyambut ke-2 rotiku dengan kening berkerut, tapi aku tahu mereka girang sekali menerimanya.

“Wah Teh, makasih banyak! Akhirnya Ade bisa nyicip roti, A!” kata si adik pada kakaknya yang tampak senang juga dengan pemberianku.

“Bener-bener nggak apa-apa, ya Teh?”

“Iya, tapi…,” kataku memotongnya penuh rahasia. Senyuman mereka berkurang, matanya berganti menjadi pandangan penasaran.

“Doakan Teteh biar nggak kemaghriban di jalan, ya,” lanjutku memutus rasa penasaran di benak mereka. Mereka mendesah lega.

            Mereka turun di perempatan, melambaikan tangan ceria sambil berteriak, “Teteh pasti pulang sebelum maghrib!” Aku tersenyum samar. Aku tahu aku takkan mungkin sampai ke rumah karena masih harus sekali lagi naik bis. Sementara kalian tahu sendiri kan? Uangku kecopetan. Harus berapa jam aku bisa sampai di rumah dengan berjalan kaki?

*               

            Aku turun di terminal, sambil berjuang menerobos para penumpang lain. Sesaat aku bengong, tak tahu harus pulang dengan apa. Mobil bak? Lalu aku numpang sampai ke daerahku? Ha-ha seorang gadis keluyuran sore-sore naik mobil bak, sepertinya agak membahayakan juga. Ah, apa aku menginap dulu ya? Setahuku ada musholla terminal…

            “Woi! Sini, De!” Gelegar suara kakakku mengagetkanku. Aku berbalik, menatapnya tak percaya. Ia melambaikan tangan dan mengisyaratkanku untuk masuk ke mobil.

“Kok bisa…?” cicitku sambil berjalan cepat menghampirinya.

“Aku sudah sms bakal jemput kamu di terminal, nggak biasanya Bunda nyuruh-nyuruh aku jemput kamu segala. Feeling katanya,” jawab kakakku santai.

            Allahu rabbi! Aku terkejut luar biasa. Mematung selama beberapa saat. Begitu tersadar, hatiku penuh hujan dan aku memaksa diri supaya cepat masuk mobil.

“Alhamdulillah….,” ungkapku merasa sangat mensyukurinya.

“Apa, sih? Kok nangis?”

“Alhamdulillah…,” ucapku lagi di sela-sela tangisku.

“Kenapa, De? Apa saking rindunya?”

“Alhamdulillah...” Aku menutup wajah dengan jemariku setengah tersenyum. Aku malu kalau harus terus diperhatikan kakak semata wayangku.

“Nanti cerita, ya.”

            Walau segala nama kuungkap, maksudku takkan pernah bisa dimaknai oleh sekedar kata-kata. Allah memang Maha Segalanya. Biarlah tetap tersimpan dalam hati, biar Allah yang tahu seberapa luasnya aku bersyukur pada-Nya hari ini...

 

 

Yogyakarta, 27 April 2007

 

 

 
Powered by Blogger.