Wednesday, June 30, 2010

Kepada Z



Maafkan aku, yang lebih memilih ibu daripada Anda.
Aku tak ingin ibu membenci Anda lebih dalam lagi.
Pahami keputusanku
Pria lajang bukan hanya Anda, walau wanita lajangpun bukan cuma aku

Mari berteman saja, bukankah kita sudah cukup mengenal?





30 Juni 2010, warnet Limuny G3
Untuk Bang ikhwan di seberang pulau,
Jauh bukan halangan, tetapi restu adalah keridhoanNya.

Pasar Kangen Taman Budaya Juni 2010




Ini nih, Pasar Kangen di siang hari. Sayah ke sana karena janjian sama temen se-SMA tanggal 29 Juni kemarin. Muter-muter....muter-muter... muter-muter... ternyata Dede (temen sayah itu) nunggunya di Benteng. Oalahh, jadi ga enak sama my Pie (temen yg nganter sayah). Akhirnya kami langsung tancappp ke Mirota...biar ngadem bentar di sanah.

Tapi, saya sempat foto-foto dikit suasana di dalam gedungnya. Banyak motor antik dipamerin (tapi engga kufoto :p). Gapapa deh, daripada ga dapet samasekali ya ngga??

Kafe di Atas Awan 3


            Ruangan sepi senyap walau ada banyak orang yang bekerja. Jadi, kuhampiri langsung meja Mas Padri, si penelepon.

“Ada apa, Mas?” tanyaku hati-hati. Ia melirikku sebentar dan matanya kembali serius menatap layar komputer. Tegang sekali kelihatannya, begitu pula dengan pegawai lainnya. Semenit kemudian aku tahu jawabannya. Seorang lelaki separuh botak melintasi ruang karyawan dengan langkah perlahan bak pengantin pria. Ia merapikan jas putihnya yang sepertinya kebesaran. Matanya tertumbuk melihatku berdiri di samping Mas Padri. Inikah pak direktur itu?

“He kamu! Ngapain berdiri disitu?! Kenapa juga seragammu tak dipakai, ha?! Mau dipecat, ya?!” Aku celingukan, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Lho, semuanya ‘kan pakai seragam?

“He tengak-tengok kemana kamu?!”

“Ooh saya, Pak?” tanyaku sambil menunjuk diri.

“Siapa lagi?!”

“Tapi saya bukan pegawai, Pak.” Setelah usai kuucapkan kalimat itu, mendadak ekspresinya sedikit melunak. Roman mukanya yang mengeras dihiasinya dengan senyuman.

“Ooh, maafkan saya. Ada yang bisa saya bantu, Dik?” katanya lembut.

“Saya ditelepon Mas Padri, katanya Mas editor ada perlu dengan saya mengenai...”

“Oh, mari, mari! Mari saya antar!” Aku cepat-cepat berjalan mendahuluinya ketika ia hendak meraih pundakku. Ugh, inikah Om direktur itu? Tak bermoral.

            Pintu ruang kerja editor terbuka. Aku masuk dengan sedikit canggung. Ini adalah yang kedua kalinya aku masuk ke ruang editor. Pemula, sih! Seketika itu, dua penghuni ruangan itu, Mas Didit dan Mas Yoga serempak menoleh siapa yang datang. Seperti biasa, Mas Didit tersenyum ramah dan Mas Yoga tetap dengan gaya juteknya yang nyantei. Dua cangkir kopi dan sekaleng besar camilan menemani mereka. Namun ketika mereka melihat siapa yang datang bersamaku, reaksinya berubah total.

            “Oh, Pak direktur. Selamat sore, Pak,” sapa Mas Didit memulai dengan agak tegang. Mas Yoga meliriknya sambil mendengus tak sopan.

“Makasih sudah nganter, Om Ganteng. Silakan keluar dulu,” katanya dengan nada merendahkan yang terdengar jelas. Pak direktur itu kelihatannya ingin menerkamnya bulat-bulat, tapi ia sembunyikan begitu ia melihatku. Ia akhirnya beranjak pergi setelah memperlihatkan taringnya padaku.

“Lagi, Wa?” tanya Mas Didit pelan, tapi senyumnya tak hilang dari bibirnya. Aku mengangguk mengiyakan, kusodorkan naskah yang kukepit padanya.

“Tegas sedikitlah, Wa. Aku jadi gemas lihat kamu diusilin mereka. Disini bahaya selama ‘om ganteng’ itu ada,” Mas Yoga menambahkan tanpa melihatku. Aku meminta maaf.

“Kalo kamu laki-laki, aku nggak bakal secemas ini,” tambahnya sambil menyeruput kopi. Aku berterima kasih padanya. Sejutek-juteknya Mas Yoga, ternyata perhatian juga orangnya.

“Kamu mau pulang sekarang? Kalau nanti, biar kita yang antar. Nanti kusuruh adikku nemenin kita,” Mas Didit menawarkan disertai lirikan singkat milik Mas Yoga. Kukatakan bahwa aku ingin pulang sekarang. Meja Mas Yoga bergeletak, dan memintaku agar ia dan Mas Didit menjagaku sampai pintu masuk kantor. Tak masalah, aku selamat dari cengkeraman “om ganteng”. Ha...ha... Setidaknya ada orang yang bisa kupercaya, kan?



            Maghrib menyapaku sepulangku dari swalayan di dekat kantor. Kuhirup aroma martabak telorku dalam-dalam, nikmat. Di paviliun, kujumpai seorang anak kosku bersama seorang anak kos tetangga.

“Assalamu’alaikum. Mbak ‘Wa, abis beli martabak, ya?” katanya manja sambil mencium punggung tanganku. Aku membalas salamnya segera.

“Iya, kalau mau ambil aja, ya. Nanti sekalian temenmu itu juga...”

“Ah nggak usah, Mbak. Udah makan tadi, kok,” tolak temannya sopan. Serempak, dua penghuni kosku yang lain berhamburan keluar begitu mendengar penawaranku.

“Assalamu’alaikum Mbak. Udah pulang ya? Sini dibawain.” , “Mbak, martabak, ya?”, “Boleh minta satu dong, Mbak?”, “Enak nih!” Aku tertawa senang melihat mereka berebut menolongku membawakan belanjaan. Kuiyakan mereka mengambil martabakku. Kami masuk ke rumah dan terlibat pembicaraan hangat beserta curhat-curhat mereka seputar sekolah.

“Eh Mbak, ada titipan. Ini tadi ada di depan pintu, pas lihat kartunya ternyata buat Mbak.” Anak kos dikepang dua itu menyerahkan seikat bunga mawar merah yang cantik padaku. Aku bertasbih dalam hati.

“Ini nggak salah? Dari siapa?” Kulihat roman mukanya seakan ingin menggodaku lebih jauh. Ia menyikutku perlahan sambil mesem-mesem. Kutinju pelan bahunya dan ia masuk ke kamar sambil tertawa-tawa. Kucari kartunya dan akhirnya kutemukan secarik kertas bercorak indah.

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Semoga Allah swt. merahmatimu karena cintamu pada manusia.

            Airmataku menitik di sudut minda, turut bertasbih pada sederet kalimat itu. Demi Allah, ini do’a tercantik untukku yang pernah kutemui. Semoga Allah merahamatimu, batinku penuh haru.

Kafe di Atas Awan 1

Heu, iseng-iseng saya bongkar-bongkar gudang cerpen lama. Ehh, nemu cerpen aneh sewaktu masih mentah-mentahnya nulis cerita. Ah yang penting kan berani (ngeles deh). Saya pingin berbagi aja, terserah mau berpendapat seperti apa, syukur-syukur sayadapet masukan bagus. Soalnya setelah dibaca berulang-ulang, kok nonsense banget neh... huehuehehee... panjang juga pembukanyah. Monggo diboco (huehuehehehh... bahasa jawa yang ngasal...)


cerita 1.
            Mulanya kupikir kafe itu dipakai khusus untuk para workaholic, tapi nyatanya tidak. Orang biasa, yang sekedar lewat atau habis berbelanjapun bisa mengunjunginya kapanpun mau. Bahkan yang menakjubkan, abang tukang becak saja bisa rehat disitu selama yang diperlukan. Bayar? Tidak! Gratis kok, kecuali yang pesan makanan tentunya.

“Povo! Povo!” teriakan ala kenek bis membuyarkan lamunanku. Aku bersicepat mengeluarkan uang dari kantung jaketku. Tas yang kukepit telah bolong di bagian pinggirnya. Aku tersenyum. Ternyata aku kemalingan. Seorang lelaki tegap khas aktivis mesjid mandahuluiku membayar uangnya pada si kenek.

“Dua, Bang,” katanya seraya menunjukku. Aku terbengong menatapnya. Ia mengisyaratkan tangan agar aku mengikutinya seraya keluar.

“Heran, eh?” katanya agak keras saat bis mulai meninggalkan terminal. Suara bising membuat kami harus berkomunikasi lebih keras. Kuanggukkan kepala seraya mengerenyitkan kening meneduhkan pandangan mata. Hari benar-benar panas!

“Masuk yuk,” ajaknya sambil melangkah ke sebuah warung makan. Eh? Itu kan kafe yang sering kulewati? Aku membatin. Ragu-ragu kulangkahkan kaki menjajari langkah-langkahnya yang lebar.

            Memang unik, ada lift yang menuju ke atas ada di dalam kantor berkaca mewah itu. Liftnya ditutup oleh kaca transparan menuju puncak kantor. Tak kuduga sebelumnya bahwa ternyata kafe maupun kantor para workaholic itu menyatu begitu apik. Di satu sisi, para pegawai kantoran berpusing ria dalam tumpukan pekerjaan, sementara kafe ini menyediakan fasilitas unik yang memuaskan. Kontras sekali.

“Eh—aku belum pernah kesini sebelumnya,” ucapku seraya memandang langit-langitnya. Ia memesan sesuatu dan pamusaji menawarkan menunya padaku.

“Ee…air saja,” canggung kujawab pesanannya. Aku mengelap kening yang basah oleh tisu yang tersedia. Lelaki berbaju takwa itu menyodorkan saputangannya.

“Ah tidak, terima kasih. Itu kan milik antum, kalau kupakai pasti kotor.”

“Pakai saja, kerudungmu pasti membikin panas.”

“Tidak kok, yang panas bukan kerudung, tapi mataharinya. Tuh, bapak itu juga sepertinya kepanasan.” Aku menunjuk pada seorang tukang becak di dekat pintu. Lelaki itu menghela napas seolah sudah capek menghadapiku dan menyerah.

“Tadi berapa? Ini, sembilan ratus,” kataku seraya menyodorkan sejumlah uang receh.

“Apa?” Keningnya berkerut tanda tak mengerti.

“Yang tadi, ongkos bis. Maaf cuma segini, seratusnya buat bayar air.”

“Jangan, ongkos tadi sudah jadi milikmu. Itu sudah hakmu, simpan sajalah. Air itu biar kubayar. Lagipula, untuk pulangnya bagaimana kalau tak ada uang lagi?” tolaknya halus.

“Eh—antum tahu aku tak punya uang lebih?”

“Ya, kamu kecurian, kan? Kenapa tak kaujaga tasmu itu?” katanya melirik tasku.

“Jadi antum lihat?” ujarku agak malu. Lelaki itu tak menjawab. Ia mengeluarkan sebuah notes mungil dan menyodorkannya padaku. Aku memandangnya dengan tatapan bertanya.

“Tulis alamat dan kampusmu disini, ini cara perkenalanku...” Ya Rahman, sekian banyak orang yang kukenal, baru kali ini aku melihat ada orang seperti dia. Agak aneh juga, tapi kutulis nama dan alamatku di notes itu.

“Memangnya (sambil menulis), antum siapa? Aku kan belum tahu.”

“Ridwan.” Aku manggut-manggut dan kuserahkan notesnya.

            Hei kawan, langit di atas sana cerah sekali. Siang memang panas, tapi perkenalan aneh ini membuat suasana di kafe menyejukkan.



Kafe di Atas Awan 4


            Novelku sudah terbit dua hari yang lalu. Oh ya, belakangan ini aku suka “bertandang” ke kafe unik di seberang kantor penerbit novelku. Di sana ada banyak orang yang bisa kuajak kenalan. Ya mahasiswa, ibu muda, abang tukang becak, ataupun pelayannya. Belajar mengenal, itulah tujuanku. Berkat perkenalan-perkenalan akrab itu, aku jadi tahu kehidupan orang lain.

            Atas izin mereka, kurajut benang-benang kisah mereka. Akan kusatukan kembali ukhuwah mereka dengan rajutan jaring-jaring penaku, agar mereka belajar memahami, bahwa mereka tidak sendirian. Tidak menderita seperti yang telah mereka keluhkan padaku.

            “Karya-karyamu makin asyik, Wa,” cetus Mas Yoga saat kuantarkan cerpen terbaruku. Aku nyengir kuda begitu ia menolehku dengan antusias. Kuucapkan terima kasih padanya.

“Memangnya yang dulu kenapa, Mas?” kataku penasaran.

“Jelek, nggak hidup,” katanya cuek. Deg, kok enteng amat ngritik-nya?

“Jangan gitu Yog, dia kan udah usaha...,” tegur Mas Didit lunak dibarengi cengiran lebarku. Yah, sebetulnya aku sedikit tersinggung juga. Sebelumnya, aku sering begadang demi memikirkan ide cerpen. Tapi sekarang? Aku berjumpa banyak orang di kafe unik itu, juga berjumpa dengan banyak kehidupan. Ah, terima kasih banyak.

Aku bergegas keluar dari kantor penerbit setelah mas-mas editor itu menyuruhku memperbaiki bagian yang kurang pas. Hari ini giliranku menyiram tanaman di halaman rumah. Anak-anak kos selalu sibuk oleh tugas di hari Minggu, sih.

            Mataku tertarik pada seonggok benda yang tergeletak di paviliun rumah. Ah, mawar cantik itu lagi! Aku agak heran menerimanya, tapi tujuan si pengirim benar-benar padaku. Tertempel di kartunya. Mulanya kupikir bunga-bunga mawar ini salah kirim. Tetapi benar-benar tak ada yang mau mengaku... atau mungkin memang untukku, ya?

            Hingga sampai sebulan ini aku menerima ikatan-ikatan mawar merah seperti yang telah kuterima pertama kali. Menurut buku yang kubaca, bunga merah itu lambang pernyataan cinta. Karena aku tak mau salah langkah, makanya mawar-mawar itu terus kurawat agar orang yang mengambilnya kelak tak merasa kecewa. Lagipula bunganya kasihan, nanti layu dan keindahannya bisa hilang kalau tak dipelihara. Yang kusesalkan, kenapa sih pengirim misterius itu tak melampirkan nama atau kata-kata selain bait-bait doa? Hobinya mungkin senang membuatku menangis...



            Sekarang, aku sedang berada di dalam kafe unik ini, sedang berusaha memenuhi janjiku untuk bertemu dengan si pengirim bunga misterius. Ia mengirimku sepucuk surat dan seikat bunga kemarin sore, dan sekarang ia akan menunjukkan dirinya di tempat tertinggi di kafe itu. Yaah, dimana lagi kalau bukan di atap gedung—di puncaknya itu? Bismillahirrahmaanirrahiim... Kunaiki lift sambil memegang memo-memo pemberiannya erat-erat. Aku bertekad akan mengembalikan memo-memo ini padanya.

            Terus terang aku agak risau mengenai kepergianku kali ini. Aku tak meminta seseorang untuk menemaniku, sama seperti aku pergi ke penerbit. Sendirian. Kekhawatiranku sama seperti wanita-wanita pada umumnya. Kukira si pengirim mawar itu pasti lelaki, jadi agak was-was juga. Tapi...siapa yang mau kuajak? Anak-anak kosku sibuk mempersiapkan ujian mereka besok. Hhh...

            Kupandang bumi dari kaca lift. Gedung-gedung pencakar menciut, mengecil, dihiasi kelipan aneka lampu yang berpendar-pendar. Pintu lift terbuka dan aku melangkah keluar, menghirup udara malam. Suasana tenang dan sejuk, tidak panas seperti siang. Langit menghitam bersih, memamerkan kilau-gemilau bintangnya. Purnama tersenyum jernih, menguning terang di atas gedung. Duhai Allah, Engkau sempurna sekali...

Ada gumpalan awan di sekeliling gedung, dan kulihat sesosok tegap membelakangi purnama. Ia tengah tersenyum, dan kurasakan serpihan angin mendesir-desir di hati. Lelaki berbaju takwa itu...? Subhanallah, dia jauh berbeda ketika kutemui pertama kalinya. Ia lebih teduh, lebih menenangkan, dan lebih...

            “Ridwan?” Ia menganggukkan kepala dan mengulurkan tangan padaku. Kutolak halus sebab jika tidak, bara neraka bisa-bisa menghujaniku.

“Bukan, aku amalmu, suami seiman, penjawab pertanyaan Izrail, temanmu dalam surga-Nya. Bergembiralah, kita ditunggu Yang Maha Mencinta,” katanya menuju gumpalan awan di seberangku. Aku terkejut, hanya mampu bengong dalam keterdiamanku. Sekali lagi, ia jengah dengan sikapku yang pelan menyiput. Ia membimbingku tanpa bisa kucegah. Kuikuti dia setengah menahan napas.

Awan melaju pelan begitu kami naiki, samirana menerpa, menyibakkan gaun-gaun kami, dan purnama seakan melambai mesra. Nun jauh disana kulihat secercah cahaya menyilaukan. Perlahan-lahan kupincingkan mata, dan yang kulihat saat itu benar-benar membuatku kembali tercekik, terhenyak, sampai-sampai tak bisa kunyanyikan bait-bait kerinduanku untuk-Nya. Pegangan memoku lenyap, aku rasakan percikan air mengalir deras tanpa bisa kutahan, menyaksikan apa yang kulihat kini. Perlahan pandanganku menggelap dan tubuhku serasa dibawa angin menuju rumah, dan melupakan memo-memo yang terbang melayang...

 

Senja berjingga, 18 Mei 2005

Kafe di Atas Awan 2


            Kerudungku kelihatan kotor sekali. Bagian lipatannya menghitam, dan berbau tak enak. Musim kemarau ini memang saat-saat orang harus sering mandi dan mencuci. Kriiing! Telepon rumah berdering nyaring, ingin segera diangkat.

“Assalamu’alaikum warahmatullah,” aku menjawab.

“Hei , Hawa, kan? Kamu kesini ya, ada yang mau diomongin pak editor tuh.” Suara di seberang sana cepat kukenali sebagai pegawai di suatu penerbit.

“Soal cerpen?”

“Ya iya, kali. Kesini sajalah!” elaknya buru-buru dan telepon terputus. Aku mendesah risau. Kejadian ini sudah berulangkali terjadi. Setiap aku pergi kesana, mereka pasti tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Aku suka diusili. Pernah kutanya alasannya kenapa mereka berbuat seperti itu. “Kau itu anak baik, bisa bikin kita ketawa-ketawa!” begitu katanya. Waktu itu aku menanggapinya hanya dengan senyum. Aku bisa memaklumi, karena direkturnya galak. Selalu mondar-mandir dan mencari-cari kesalahan, bikin orang sekantor terdiam dan tegang sampai-sampai keringat dingin bermunculan. Belum lagi wanita-wanitanya dijahili sampai menjerit-jerit. Dasar hidung belang, bikin para pegawai lelaki iri (hush!).

            Aku menyandang tas bututku (lagi) setelah kujahit robekan besar di pinggirnya. Kunaiki bis yang tadi siang, dan bis segera melaju mengantar para penumpang. Sekarang aku cuma mengisi dua ribu rupiah dalam kantung tas. Kulirik Almas emas-ku, ternyata jam 5 lewat sedikit. Mudah-mudahan tak ada yang serius. Aku akan beli belanja sekalian sepulangnya dari sana.

Wednesday, June 9, 2010

Selenting Romantika Malam

Lalu datanglah pujangga hening
Hujan berhenti merintih
Menyisakan lelap dengkur anak-anak Adam

Larik mudamu tak pernah ditelan kelam,
gemilang memesona,
menghentakku ramai

Tahukah romansaku tak terputus hanya karena kegelapan?
Tahukah setapak aksaramu sudah menggores tanda pada setiap sel dermaku?

O.. kepada Pangeranku,
dia terlalu membekaskan tanda hingga lukaku menganga tak kering juga!
dia memilukanku di setiap sunyiku walau ia terus diam dalam lengkung bibirnya!

Kupinta sedikit saja pembebat luka ini
kumohon doa kerdilku Kauhampiri sejenak
biar titi nadaMu yang memecah keramaian dirinya






dalam rinduku yang melepuh belum mengering
16 april '10

Monday, June 7, 2010

Ciremai




Foto ini diambil ketika di perjalanan menuju Mandirancan, dimana saudara saya menikah. Maaf kalau buram atau gelap sebab saya mengambil dari seadanya hape di dalam mobil dalam perjalanan (jadi gak gitu jelas).

The Day the Earth Stood Still

Director: Scott Derrickson
Keanu Reeves – Klaatu
Jennifer Connely – Dr. Helen Benson


Film ini bergenre action technology (walau tak sepenuhnya action). Nuansa hari akhir-nya lebih terasa di ending mengingat penyerangan besar2n secara serempak oleh makhluk-makhluk aneh.

Film ini bercerita mengenai Bumi yang dikunjungi benda asing berbentuk bulat keperakan yg bersinar-sinar. Saat semua orang terpukau, turunlah salah satu ‘makhluk’ bernama Klaatu dari benda tersebut. Semua angkatan bersenjata segera bersiaga dengan persenjataannya, sementara itu seorang ilmuwan wanita mendekatinya (mungkin karena merasa Klaatu tak membahayakan). Ketika Klaatu mengulurkan tangannya, ia malah ditembak. Anehnya, ia memiliki darah.

Saat kepanikan terjadi setelah penembakan itu, ‘makhluk’ lainnya yang lebih besar turun dan mengalirkan kekuatan energinya sehingga seluruh listrik tiba-tiba mati bahkan manusia tak bisa bertahan dengan gelombang suara yang tak biasa. Beruntungnya, Klaatu belum mati sehingga ia bisa mencegah temannya membinasakan orang-orang di sekitarnya itu.

Belakangan mereka tahu bahwa dari dalam kulit luarnya (yuck!), Klaatu memiliki rupa seperti manusia: punya kepala, badan, tangan dan kaki. Saat semuanya telah pulih, pemerintah AS bahkan tak bisa mendapatkan setitik terangpun mengenai tujuan maupun apa sebenarnya makhluk ini. Klaatu malah berhasil meloloskan diri (dengan tenangnya) dengan menggunakan kekuatan yang ia miliki. Ia juga bisa menemukan Helen, sang ilmuwan wanita yang ia temui pertama kalinya saat ia mendarat di Bumi.

Sekalipun Helen sudah membantunya menyediakan zat-zat yang ia butuh, kendaraan, membantu menemukan professor untuk berdiskusi, ia tetap tak bisa mengorek keterangan lebih lanjut tentang Klaatu.

Selanjutnya ia tahu, Klaatu dikirim ke Bumi untuk menyelamatkan planet Bumi dari manusia. Selama perjalanannya di Bumi, Klaatu menemui banyak hal yang menurutnya manusia tak layak menempati Bumi. Ia melihat manusia yang berkelahi hingga tega membuat salah satunya roboh, maka bagaimana ia bisa mempercayakan kebertahanan Bumi pada umat manusia? Helen yang menyadari rencana ini memohon pada Klaatu agar memberi kesempatan lain pada manusia untuk memperbaiki kesalahannya. Namun nihil.

Klaatu diutus ke Bumi ternyata untuk membuka ‘segel’ pertahanan Bumi. Ingat makhluk besar yang mematikan listrik dalam sekejap? Badannya ternyata merupakan sekumpulan kumbang metal yang mematikan, yang kemudian menyerang badan penelitian sampai menuju kota. Seluruh dunia huru-hara. Kumbang-kumbang tersebut bermunculan saat benda keperakan itu disentuh Klaatu.

Kaget, Helen juga mendapat akibat yang tak kalah fatal. Anak lelakinya mulai mengeluarkan darah dari hidungnya hingga tergeletak tak sadarkan diri. Setelah mereka berdua memeriksanya, anaknya ternyata telah meninggal. Ingat bahwa Klaatu bisa membangkitkan kembali orang mati, Helen memohon-mohon padanya agar menghidupkan kembali anaknya. Tanpa disadarinya, ia juga mengalami hal serupa sebelum anaknya meninggal. Saat ia menyadarinya, ia tetap memohon agar Klaatu menghidupkan anaknya kembali. Trenyuh melihat seorang ibu yang kehilangan anak satu2nya, Klaatu akhirnya ‘menghisap’ saripati penyakit kedalam tubuhnya sampai Helen dan anaknya benar2 pulih dari sakit. Lalu bagaimana akhirnya kehidupan manusia? Musnahkah mereka diburu kumbang-kumbang itu? Lalu apakah Klaatu bisa menghadapi masalah pelik ini?

Penting menyadari satu hal bahwa sangat banyak hal yang mungkin terjadi sebagaimana halnya memberi kesempatan kedua. Saya yakin bagi orang-orang yang punya prinsip kuat takkan pernah memberi kesempatan lain setelah kesempatan kedua. Bila janji pertama saja telah dilanggar, maka takkan ada lagi kepercayaan yang begitu dalam sebelum perjanjian tersebut.

Menurut saya, film ini jelas skenario yang termasuk aneh bikinan Amerika (lagi). Seandainya terdapat keyakinan bahwa harkat apapun adalah milikNya, manusia pasti selalu punya cara untuk menyelesaikan persoalan sebanyak apapun. Sangat disayangkan (dalam film ini) bahwa manusia baru bisa memohon2 setelah banyak makhluk asing ‘menjajah’ Bumi.
Hanya saja, film ini punya bagian yang membuat saya jatuh hati: teknologi. Digambarkan di sana terdapat scanner pendeteksi DNA, dilengkapi dengan data touch juga. Aagghh, nambah imajinasi saja!!!

Saya agak bingung juga, soalnya saya menonton movie tanpa ada terjemahannya. Maka, tolong beritahu bila ada salah pengertian ataupun alur. Terimakasih.
Selamat menonton.

A la folie, pas du tout : He Loves Me Not

Andrea Tautou as Angélique

Samuel Le Bihan as Dr. Loïc Le Garrec

Clément Sibony as David

Isabelle Carré as Rachel

Film berlatar French ini sunah muakkad bagi kalian yang kuliah atau tertarik psikologi/kejiwaan. Dirunut dari segi jalan ceritanya, film ini berkategori flashback yg sangat jelas. Bisa dibilang alurnya termasuk campur. Sebutlah, jenis film ini termasuk 2 in 1 karena terdapat 2 subjek yang disajikan secara terpisah, yaitu cerita Angélique (Andrea Tautou) dan Loic si dokter jantung.

Ceritanya tentang seorang gadis kuliahan seni rupa yang jago gambar bernama Angélique yang suka pada seorang dokter ahli jantung bernama Loic. Setiap hari dia memberi kejutan untuk si dokter seperti bunga, lukisan, bahkan kunci rumah. Padahal, Loic tak tahu menahu si gadis ini sama sekali, bahkan ia selalu mengira bahwa istrinyalah yang mengirim hadiah-hadiah kecil itu

Obsesinya tak hanya sampai di situ. Gadis inipun sampai tega membuat Rachel (isteri Loic) keguguran dan membuat hubungan suami-isteri ini jadi renggang. Rachel mengira Loic berselingkuh dan meninggalkannya. Sementara Loic menjadi depresi karena bingung dan marah pada orang yang telah merusak hubungan di antara mereka. Karena jengkel, Loic sampai mencurigai siapapun yang berada dekat dengannya. Ia memecat sekretarisnya dengan tidak hormat dan berkelahi dengan Jasmine, pasien sekaligus salah satu orang yang suka pada Loic (ginilah nasib jadi dokter ganteng ).
 
Sampailah pada antiklimaks yang bikin si dokter stres berat. Angélique dinasihati David agar mencoba melupakan Loic. Karena bagaimanapun juga, Loic amat mencintai istrinya. Walaupun Angélique berkali-kali mengajak Loic pergi bahkan sampai mengirim tiket, ia tak pernah mendapat balasan dari Loic.

Karena kecewa, Angélique  ingin menyediakan hadiah perpisahannya dengan Loic. Iapun meminta bantuan David untuk mendapatkan hadiah itu. Begitu si dokter membuka hadiah, dia kaget begitu mengetahui apa yang terdapat di dalamnya (sepertinya kejutan ini bakal berhasil membuat kalian semua menjerit). Di penghujung cerita, Angélique mencoba bunuh diri. Ia berhasil diselamatkan dan diketahui bahwa ia mengidap erotomania yang parah.


Namun ini bukan akhir dari film ini. Ide gila telah disiapkan untuk menamatkan cerita ini. Kalian tonton ramai-ramai saja pas weekend. Kenapa? Sebab dari awal cerita, kalian bakal tertipu pada alur seperti ini. Dengan banyak orang menonton, makin ramai juga kalian bakal berdiskusi dan menduga-duga akan jadi bagaimana kisah psiko yang satu ini.

Selamat menonton

Friday, June 4, 2010

Balada Pendek Para Tukang

Juni ini saya mudik (lagi) ke Kuningan. Bukan cuma melepas kangen dan lari dari penatnya Jogja, tapi memang karena ada acara keluarga di sini.

Tiba di rumah, keadaan jauh lebih berantakan dibanding dua minggu lalu saya kemari. Oh, ternyata ada perbaikan kamar tengah dan praktis beberapa saudara ikut andil.

Bukan mereka yang mau saya soroti buat bahan renungan, tapi para tukang yang membantu pekerjaan rumahtangga.

Saat itu, kami tengah bersiap mengantar pengantin lelaki ke Mandirancan. Saya dan Mamah sedang menunggu Apak di paviliun depan rumah. Di depan, seorang tukang sedang mengaduk semen untuk perbaikan kamar.

"Tahu nggak Teh, dia ini teman Mamang (paman) mu semasa kuliah," bisik Mamah tiba-tiba. Saya hanya membalas dengan diam. Jauh di dalam hati, saya merasa miris mendengarnya.

Betapa tidak, adik tengah Mamah telah cukup sukses sebagai sarjana arsitek. Terbukti, beliau sering mendapat proyek kerja (walau bersifat musiman) sehingga ia bisa menafkahi keluarganya. Lukisan-lukisan kanvasnya malah punya nilai jual, kalau ia berminat.
Beliau bahkan masih mampu membantu orang-orang terdekatnya yang membutuhkan walau sedikit.

Sementara salah seorang kawannya? Ia harus cukup puas mendapat pekerjaan sebagai kuli bangunan kasar. Saya tak mengerti mengapa bisa berbeda padahal latar pendidikan nyaris sama.

Pak kuli yang satunya bernama Maman, beliau punya banyak anak yang masih kecil-kecil dengan seorang sulung di SD kelas 5/6. Mamah bilang, beliau ditinggalkan isterinya. Oh, teganyaa sampai-sampai tak memikirkan para buah hati yang telah ia kandung! Saya dengar isterinya telah menikah dengan pria lain.
Bila Pak Maman pulang, anak-anak telah menunggunya di dalam rumah. Bila beliau beruntung mendapat sebungkus makanan, maka ia akan menyuapi anak-anaknya agar terbagi dengan adil.
Bahkan saking sayangnya, beliau menolak tawaran libur dari orangtua saya. Yah, kami hanya bisa mafhum keinginan seperti itu karena keadaan yang membuatnya demikian.

"Tahu nggak Teh? Ibu Pak Maman ini dulunya orang Telkom lho, Mamah kurang tahu sekarang beliau sudah diangkat jadi kepala atau pensiunan..."
"Kok bisa...?" Maksudku, secaraa orang Telkom paling tidak mendapat gaji lumayan. Masa cucu-cucunya sekalipun tak pernah dilirik??
Mamah hanya mengangkat bahu, tak paham apa yang dipikirkan ibu macam apa sebenarnya dia ini.

Belum lagi cerita Ceu Oom yang bantuin Mamah setiap seminggu sekali. Beliau punya beberapa anak yang kesemuanya telah menikah. Tapi sayang semuanya bermasalah. Persetan masalah apa yang mereka hadapi, tapi satu yang menyakitkan: menitipkan anak-anak mereka pada ibunya.
"Kalau tak ingat cucu-cucu yang masih kecil di rumah, aku mau bunuh diri saja." Itu kata-kata yang pernah dilontarkan beliau. Ya Allah, MahapengasihMulah yang mengembalikan akal sehatnya.

Sudah kebiasaan pula Mamah memberi makan orang-orang yang membantunya. Namun kebanyakan dari mereka sering menolak.
"Takut terlena, Bu. Nanti saya telat pulang." Ceu Oom memberi alasan begitu. Makanya, setiap Mamah menyodorkan makanan. Hanya sesuap-dua suap saja bisa masuk ke kerongkongannya. Beliau merasa lebih perlu membungkusnya untuk jatah makan cucu-cucunya ketimbang ia yang makan selagi panas.

Dan, saya sangat yakin tak cuma Kuningan yang punya cerita-cerita miris seperti ini. Bahkan pasti ada cerita yang lebih menyentuh sisi kemanusiaan kita.

Sebenarnya, apa yang kita pikirkan ketika kita dengan seenaknya menyisakan makanan lalu membuangnya ke tempat sampah?
Apa yang kau incar ketika menggeleng kepala saat pengamen menadahkan kaleng dan topi mereka, padahal terdapat koin lima ratus di sakumu?
Apa yang kau rasakan ketika ada banyak kegetiran orang-orang awam di sekitarmu?

Hei, tak ada salahnya membuka lebar sisi lembutmu. Kita ini manusia yang diciptakan dengan ragam emosi. Jangan ragu untuk memberi sedikit saja dari apa yang kita miliki. Kebahagiaan datang ketika di dunia ini kita saling melengkapi dan berbagi. Bukankah ini indah?





Saya dan kamar kemanusiaan,

Kuningan selepas Jumatan, 4 Juni 2010

Tuesday, June 1, 2010

Balada Manis Keluarga Bibi


Saya sedang jenuh memikirkan ide cerita yang bakal saya ikutkan ke lomba cerpen. Hm, terlalu intens dan mendesakkan otak agar segera mendapatkan ide memang kurang bagus ternyata.
Saat sedang pusing karena memikirkan ide, tiba-tiba saya teringat cerita-cerita Mamah sewaktu saya mudik. Ketika sedang santai, televisi tengah break dengan menampilkan sejumlah iklan. Dimana-mana pasti ada wanita yang nampang di sana. Mamah tiba-tiba tergelak ketika melihat seorang wanita cantik di sebuah iklan, entah shampoo atau apalah saya lupa.
“Kenapa, Mah?” tanyaku sambil mengernyitkan dahi.
“Hehe, enggak… cuma teringat curhatan bibimu waktu Mamah ke toko.”


Anekdot Iklan
Ceritanya, bibi dan mamangmu ini sedang menonton televisi. Nah, ketika ada tayangan cewek cantik, mamangmu ini iseng-iseng berkomentar,
‘Wah, lihat tuh Bu, ceweknya cantik banget ya. Coba si Ibu dandan kayak begitu…’
Emang dasarnya bibi saya menikah awalnya tak dilandasi cinta, dengan kalemnya dia menjawab:
‘Ck! Ibu juga bisa cantik dan seksi Yah!’
Pamanku meliriknya dengan pandangan mencemooh seakan bilang ah-teori-!. Bibi menadahkan tangan dengan entengnya seraya menimpali,
‘Mana minta duitnya, biar ntar Ibu ke salon! Orang cantik tuh butuh modal, Yah! Ibu juga bisa kayak gitu kalau ada duitnya!’
‘Wah itu mah bikin Ayah tekor dong, Bu…,’ gerutu mamang kehilangan kata-kata. Mwahahaha… kesian banget mamang saya…

Selang beberapa hari/bulan kemudian, bibi saya pernah iseng juga melempar komentar mirip kejadian di atas. Bedanya, iklan yang ini menampilkan laki-laki fresh yang sedap dipandang mata. Nicholas Saputra kalau tak salah.
‘Duh, Nikolas kok ganteng amat…,’ begitu komentar Bibi. Mamang yang tengah melintas, sontak langsung mematikan TV. Fffht!
‘Ah si Ibu, anak kecil kayak begitu aja kok disukain…,’ gumamnya sambil melengos ke kamar. Untuk beberapa saat, ruangan senyap, tapi tak lama kemudian bibi tergelak.
‘Aih si Ayah segitunya, Ibu kan cuma seneng lihatnya aja Yah. Kan komentar doang...'
Hahaha, cemburu menguras bak mandi kalbu…

Anekdot Masakan
Sudah bukan rahasia lagi bahwa pada awalnya Bibi saya memang tak begitu pandai memasak. Ibunya tak pandai memasak, jadinya bingung juga mesti belajar pada siapa. Begitu bekerja di toko Apak saya, beliau ikut di rumah Mamah untuk sekedar bantu-bantu di seputaran rumah seperti menyapu dan mengurusi dapur. Alhamdulillah akhirnya saat berumahtangga, beliau tahu sedikit-banyaknya soal dapur.

Yang kami tahu, suaminya alias mamang saya ini lebih jago masak ketimbang bibi. Saat masak lodeh misalnya, kuahnya kurang begitu kental sehingga mamang sampai  mengernyitkan dahi pas icip-icip. Sampai situ, bibi pasrah saja kalau masakannya dimodifikasi mamang.

Suatu hari, Mamah mengirimkan lodeh untuk mereka karena sudah membantu suatu acara keluarga kami. Karena mamang belum tahu perihal kiriman tersebut, beliau berkomentar,
‘Wow, ini masakan si Ibu? Kok tumben enak banget nih…,’ begitu katanya (hohoho, Mamah memang the best chef ever!).
‘Bukan, ini dari ceceu (panggilan menghormati pada yg lebih tua) kok.’
‘Emh, pantesan. Coba si Ibu bikin yang seenak ini…’
Nah lo, lagi-lagi mamang nantangin bibi

Akhirnya pada suatu kesempatan, bibi berencana membuat lodeh untuk keluarga kecilnya itu. Bahan-bahan sudah disiapkan, alat masak juga stand by di lokasi masing-masing. Seperti biasa, mamang juga ikut nimbrung kegiatan masak-memasak isteri tercintanya ini. Namun ia terperangah ketika bibi membuat racikan bumbu yang lebih banyak dari biasanya.
‘Eh stop, stop Bu… kok bawangnya banyak banget sih! Segini aja…,’ pekik paman sambil memaruhkan irisan bawang. Bibi saya cemberut dan berusaha menyingkirkan tangan mamang dari talenan.
‘Katanya mau lodeh yang mirip kayak bikinan ceceu?? Ya bahannya memang segini!’

Hehe, Mamah memang suka pakai bumbu macem-macem dan agak berlebih agar terasa enak. Hanya untuk keluarga Bibi, penghematan harus terus jalan termasuk penggunaan bahan-bahan masak, karena mereka masih tergolong keluarga anyar.
‘Udah udah, bikin yang biasa aja,’ rengut mamang sambil kembali memaruhkan irisan bawang. Saat itu, senyum bibi seperti layar terkembang di pelabuhan…
Lagi-lagi pemenangnya bibi sayah, nyahaahaa......



 
Powered by Blogger.