Thursday, December 26, 2013

[Writing Challenge] Write a Review (film)

Ya sudahlah, Writing Challenge-nya saya bikin semaunya saja ... ternyata sehari 1 postingan itu susah juga kalau baru memulai -__-

source

Pas nih buat challenge berikutnya.
Tanggal 23 Desember yang lalu saya baru nonton film Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck (berikutnya disingkat TKVDW). Diambil dari salah satu buku era 1930-an karya Buya Hamka, film ini sukses membuat saya menyesal.
Awalnya penyesalan saya ialah liat jejeran pamflet jadwal tayang bioskopnya. Dilihat antara Soekarno dengan TKVDW, jelas saya ambil yang non-kontroversial, bisa dosa kalau terpengaruh sejarah yang keliru *alesan :p
Begitu tiket diambil dan berbalik kanan, ada EDENSOR! Aish, benar-benar nyesel ... karena nunggu barang sehari saja (Edensor tayang tanggal 24-nya) bukan hal besar. Saya dan suami sengaja menonton karena lusanya suami berangkat ke lapangan lagi.

Film ini berkisah mengenai Zainuddin yang merantau ke tanah kelahiran ayahnya di Minang. Dalam menuntut ilmu selama di sana, dikisahkan ia terkucilkan lantaran ia dianggap bukan keturunan Minang lantaran ibunya berasal dari bugis (Minang menganut sistem matrilineal alias garis keturunan ibu). Namun demikian, orang-orang mengenalnya sebagai pemuda berhati emas dan santun terhadap siapapun.
Zainuddin jatuh hati pada Hayati. Akan tetapi karena adat budaya, cinta mereka tak bisa bersatu. Lamaran Zainuddin ditolak dan Hayati dijodohkan dengan pemuda kaya bernama Aziz.

Inti dari film ini adalah kasih tak sampai (nyawa di ujung maut), dikarenakan oleh adat istiadat, tradisi dan juga latar belakang sosial. Saya kira penulis cerita ini tengah mengritik keadaan yang terjadi di masyarakatnya di masa itu. Dimana Minang itu setahu saya kental dengan ilmu agamanya, tentu saja Islam jadi sorotan. Tapi mengapa dalam hal ini Islam (sepertinya) dikesampingkan? Restu memang nomor satu, akan tetapi pertimbangan soal milih kriteria calon suaminya itu lho ... *ya baiklah di-skip saja ngobrolin ini

Kening saya berkerut juga saat musik Nidji mendominasi soundtrack film ini. Kurang pas rasanya ketika sesuatu yang klasik dipaksakan berkolaborasi dengan sesuatu yang pop, tapi saya kasih jempol untuk beberapa pilihan musik seriosa berirama begitu latar Belanda muncul.
source
Reza Rahardian, seperti biasa bisa memukau penonton dengan aktingnya. Bisa dikatakan, karakter Aziz yang dimainkannya kuat sekali. Apakah ia sedang terpesona, marah ataupun senang, ditunjukan selayaknya bangsawan dengan segala keangkuhannya. Pevita Pearce, cukup mewakili kerapuhan dan ketundukan Hayati pada suaminya. Walau aslinya saya kurang suka saat adegan ia tenggelam, rasanya terlalu didramatisir.
Tokoh utama film ini, Zainuddin, justru sukses bikin saya tepok jidat berkali-kali. Agaknya memilih Herjunot itu keputusan yang salah. Karakter Zafran dalam film 5 CM sudah melekat kuat, sehingga boro-boro mau menghayati setiap kata-kata puitis, penonton malah tertawa-tawa. Beberapa adegan terlihat berlebihan sehingga kesan marah malah seperti ngotot.

Sedikit curcol, mungkin ada baiknya tak ikutan latah ... bahwa menonton film yang diprediksi bakal booming itu ada baiknya ditonton beberapa hari setelah tayangan perdana. Hal menyebalkan selama film berlangsung adalah hilangnya mood sepanjang durasi film karena mbak-mbak sebelah saya berisik dengan timpalan-timpalannya sepanjang dialog tokoh. Bukan isak tangis karena melihat adegan yang harusnya menyayat hati, yang ada malah koor tawa dari para penonton.
Memang jadinya kurang greget sih, tapi efek bioskopnya tetep dapet kan? :D

Sunday, December 15, 2013

[Writing Challenge] A Fanfiction

Hari libur begini adalah saat yang paling tepat bersantai dengan keluarga, atau sekedar hangout dengan para sahabat. Kegiatan kampus sudah sangat memusingkan, terlebih mengingatkannya dengan salah satu dosen penguji yang terkenal killer di kampus. Tapi semuanya sudah berlalu sekarang, gadis berkerudung rapat itu kini tinggal merapikan berkas revisian untuk kemudian disahkan dan dijilid rapi untuk simbol perjuangannya selama 4 tahun.

Oki menghela napas, menatap variegated bougainvillea putih bergoyang tertempa angin bulan Desember. Sekalipun kelulusannya merupakan hal yang paling melegakannya, tetap saja ada hal menggelisahkannya.

"Oki."
Sapaan singkat itu membuatnya sedikit tersentak. Seseorang telah berdiri di seberang jendela kamarnya. Seketika itu juga jantung Oki berdebar kencang. Seorang lelaki tersenyum lebar padanya. Seperti biasa.
"Mas Radni," secepat mungkin ia balas menyapa.
"Sedang apa? Bapak ada tidak?"
"Ah iya Mas, ada. Ke depan saja ... biar kupanggilkan Bapak."
Detak jantungnya tak juga mereda. Sosok lelaki itu selalu berhasil mengganggu pikirannya, terlebih sudah 2 tahun mereka tidak bertemu sesering saat masih kuliah. Radni sudah bekerja setahun lebih selepas kelulusannya. Dia jelas terlihat tampak lebih matang sekarang.

Oki sudah memikirkan dari jauh hari dari sejak perkuliahan tahun pertamanya dimulai. Tentu apa lagi selain soal jodoh, nyaris setiap bertemu dengan para sahabatnya itu, obrolan soal fans dan cinta selalu mampir di telinganya. Bintang KCB itu hanya bisa tersenyum simpul, menanggapi candaan mereka hanya akan membuatnya makin jadi sasaran perbincangan.
Siapa yang tahu menyoal hati perempuan. Bahkan ibunya tak pernah tahu siapa yang ada di hatinya!

Oki tahu persis bahwa Radni adalah lelaki yang ia suka. Naksir, begitu kata remaja bilang. Tetapi rasionya sendiri tak pernah  padam, bahwa fokus pada urusan yang satu itu terlalu riskan untuk dipikirkan mahasiswi yang baru masuk bangku perkuliahan. Hanya doanya saja yang bisa membentengi diri dari segala rintihan hati yang kerap terasa nyeri bila tak sengaja dilihatnya Radni tengah bicara dengan gadis lain.
Ah, itukah cinta? Mengapa seperih itu harus dipertahankan?

Apa aku harus memintanya hadir di acara wisudaku? Pikir Oki sambil memperhatikan wajah teduh yang kini berbincang dengan Bapak dari kejauhan. Mungkin tidak. Itu bukan urusannya.
Iya, lebih baik tidak, begitu batinnya sambil beranjak masuk kembali ke kamar.

***

"Mas Radni?" Oki menggumam antusias sekaligus canggung melihat lelaki itu ternyata datang di hari wisudanya.
"Oki, selamat! Satu lagi mahasiswi terbaik telah mengharumkan almamaterku ...," Radni menangkupkan salam sambil tersenyum lebar. Mau tak mau pipi Oki merona malu, senang bisa menjadi kebanggaan universitasnya ... juga seniornya yang satu itu.
"Makasih Mas."
"Aku masih cari teman-teman yang lain, kamu lihat Ega atau Titha? Atau anak-anak BEM lain?"
"Sepertinya pencar-pencar, Mas. Tadi Titha juga terpisah ... cari orangtuanya dulu. Coba ke sebelah sana Mas, kayaknya tadi aku lihat Diar ke arah sana," Oki menunjuk ke arah kerumunan orang-orang berkaos putih mengacung-acungkan bendera biru.
"Saya nyusul teman-teman dulu Pak, Bu ... Oki, sekali lagi congrats ya, aku tinggal dulu." Radni berpamitan, tak lupa mengedipkan sebelah matanya yang legam itu. Cekatan, ia menerobos kerumunan padat orang-orang juga para wisudawan hingga akhirnya hilang dari pandangan Oki ditelan keramaian.
"Selamat Sayang, ini dari Radni, Ocha, Nesta, Zabir, juga beberapa kartu ucapan," Ibu memeluk Oki sambil menyodorkan beberapa suvenir cantik khas wisudaan.
"Kartu ucapan?"
"Fans sepertinya," Bapak mengedipkan mata menggoda anak gadisnya yang masih berperangkat toga itu. Oki mengulum senyum sambil menyusun suvenir itu dengan hati-hati ... hingga matanya tertumbuk pada sebuah persegi keras berwarna gold dilapisi pita dengan warna serupa.
"Ini ..."
"O ya, itu undangan dari Radni. Dia nikah minggu depan."

Selesai.

_________________________
_________________

Ini fanfiction bukan ya?
Masyaallooohh maaf, memang begini ya ternyata kalau sudah lama gak nulis fiksi. Susaaaahhh ...
Mana bingung, saya ngefans karo sopo? Akhirnya milih asal nyomot ajadeh, konon Oki tu di-fans sama suami. Hahaha, not bad ... toh saya tahu Oki itu memang tipikal istri idaman banyak ikhwan :D
Maaf ya Mbak OSD, ini fiksi semata ... anti juga sudah menikah, semoga jadi keluarga SAMAWA.

Cerita di atas fiksi semata, jika ada kesamaan tokoh, alur maupun adegannya, maka itu kebetulan semata~

Saturday, December 14, 2013

Pancake Durian Medan

Ealah, tiap posting kok makanan melulu ya ... gakpapa ya pemirsah, itung-itung ngisi blog yang lama berdebu :))
Awalnya dapet nyicip dari ibu mertua. Kirain eskrim, ternyata namanya pancake toh ...
Belum sepenuhnya beku sih, tapi uenak!
Durennya mantap, mungkin jenis montong. lapisan luarnya hijau tipis bertekstur seperti kulit bakpao, lalu dilapisi semacam eskrim vanila, daaan tentu saja lapisan terdalam itulah si duren bersemayam.
Buat saya, harganya ni lumayan juga. Sekotak berisi 5 buah pancake dihargai Rp.60.000! Jadi konon perbuahnya dihargai Rp.13.000, tapi karena beli cukup banyak dapet kortingan 5 ribu. Mungkin kalau di Jawa (atau di Medan sendiri) harganya gak segitu.
Tapi ... biarpun katanya kudu ditaruh di freezer biar beku, menurut saya ni enaknya dimakan sebelum beku, jadi durennya nikmat disantap juga dalam keadaan empuk :9


Gothic Fried Rice

Tha~thaaa ...
Suami sengaja ngumpulin tinta cumi, katanya penasaran pingin bikin nasgor hitam gitu.
"Neng duduk manis aja, biar Aa yang masak sekarang."
Deuuu suami sayah meni romantis ...


Hasilnya enaaakkk ... cuma memang warnanya item gitu, makanya saya namain 'gothic' aja, kikiki...
Bumbunya cukup simpel, pakai bawang merah-putih, bawang bombay, cabe rawit, daun jeruk, serai, merica, gula-garam, dan tentu saja tinta cumi. Telur, cumi dan udang itu tambahan campuran, nambahin apa yang ada di kulkas :))

Kulit Bak Nangka, Berduri Bak Durian

Gak seru dong kalau jalan-jalan hasilnya nihil.
Hasil jalan-jalan kemarin ... saya jadi tahu yang namanya buah lai dan cempedak.


Lai ini duren ukuran mini, tapi tanpa bau se-menyengat duren. Begitu dibuka, begh ... begitu menyilaukan! Warnanya kuning tua nyaris jingga segar ... tapi begitu dicicip, rasanya hambar. Teksturnya benar-benar jiplakan duren, hanya saja tak selembek duren jika telah matang.
Nama ilmiahnya adalah Durio kutejensis (kutejensis = berasal dari Kutei), karena menurut penyebarannya ia banyak ditemukan di hutan Kalimantan.
Lai
Kalau cempedak pastinya pernah dengar kan? Seumur-umur baru kali ini saya tahu persis seperti apa buah ini. Kalau Lai itu kembarannya duren, cempedak ini jiplakannya nangka. Buah yg punya nama ilmiah Artocarpus champeden ini adalah tanaman buah-buahan dari famili Moraceae. Buah, rasa dan baunya pun mirip nangka. Kulit luarnya sama-sama hijau berbintik kuning-cokelat dan lengket karena getah, hanya saja tidak menonjol seperti nangka. Lebih soft and shiny gitulah ... *berasa iklan sampo
Cempedak
Setelah browsing, banyak artikel yang membahas buah yang satu ini. Khasiatnya beragam, terlebih hampir semua bagian cempedak bisa dimanfaatkan, dari buah hingga daunnya. Walau mungkin tak seenak nangka, kandungan vitamin Cnya ternyata lebih banyak dari nangka. Ia juga bagus untuk mata dan mengobati tumor.
Ibu mertua saya memberitahu bahwa kulit cempedak yang biasa disebut mandai itu bisa diolah lagi untuk dikonsumsi. Jadi saya coba bikinlah itu ... karena setelah nyicip punya ibu, kok mirip-mirip jamur goreng (cuma beraroma buah dikit).

Pertama-tama, bersihkan bagian luar kulitnya (buang yang ijo-ijonya itu), cuci lalu rendam dengan air panas selama kira-kira 2-3 hari. Pakai garam boleh, tapi gak usah kebanyakan, nanti keasinan. Karena saya gak betahan kalau liat air kotor didiemin, jadi air rendamannya sempat saya ganti beberapa kali ^__^a
Setelah direndam, buang airnya, peras lalu goreng langsung ke dalam minyak panas. Karena 'gatel' kalo masak biasa pake bumbu, saya iseng nabur merica ke mandainya setelah diperas :))
Hasilnya ... enak juga, hanya saja gak bisa makan terlalu banyak karena berminyak banget ... mungkin saya harus pakai trik tertentu biar hasilnya bisa memuaskan.

Tenggarong di Minggu Siang

Hari Minggu biasa jadi ajang berkumpulnya keluarga. Begitu halnya dengan keluarga kami, sudah beberapa hari sebelumnya suami memang berencana mengajak saya jalan (lagi) ke salah satu titik wisata sekitar Balikpapan. Kali ini ayah dan ibu diajak juga, karena ternyata o ternyata ... Tenggarong bukan perjalanan remeh.

Melewati bukit Soeharto yang merupakan hutan lindung, saya jadi ayem teringat perjalanan ke Bandung saat di Cadas Pangeran. Kiri-kanannya rimbun pepohonan, benar-benar kesejukan serasa surga mengingat siang itu matahari sedang terik-teriknya.


Untuk mencapai sana dibutuhkan waktu kurang lebih 4 jam. Selain faktor wiken yang orang lain doyan main keluar, faktor infrastruktur jalan labil-lah yang jadi kendala utama. E bentar, mungkin aselinya faktor salah kendaraan yang jadi masalah ... e bentar ... *halah dasar penulis labil
Jadi gini, dari awal kami sudah tahu kecuali saya bahwa jalan menuju Tenggarong itu dirintangi jalanan rusak, debu penggalian tambang, dsb. Jazz RSS jadi korban.
*krik*

Tujuan pertama kami ialah mampir ke museum Mulawarman. Banyak peninggalan kerajaan Kutai yang dipamerkan di sini. Maaf nih ini gak sesuai urutan, tapi gak jauh-jauh amat kok :D
























Sempat cek ke planetarium juga, tapi karena tidak memenuhi kuota jumlah minimum untuk masuk maka ... kapan-kapan sajalah main ke sana lagi :))
Kami sempatkan sebentar berkunjung ke museum Kayu, dimana buaya Muara dan Sangatta yang terkenal besar dan pernah makan manusia itu diawetkan di sini juga. Isinya selain berbagai jenis kayu juga terdapat contoh kerajinan yang terbuat dari kayu, pun jenis dedaunan dari berbagai pepohonan.











Ah ya, kami melewati Waduk Panji Sukarame. Nah, tadinya memang tak ada rencana bakal main ke sini, tapi begitu dengar di situ ada Taman Anggrek, meluncur juga kami kesana :))
Cuma penasaran, letaknya lumayan juga dari gerbang masuk ... lewat jembatan ... taman bermain anak-anak ... terus nyampe deh. Sayang taman anggreknya tak sebagus bayangan saya. Rumah kaca berisi anggrek-anggrek yang berbunga ditutup kawat duri, jelas saya dan suami tak bisa bebas memoto -__-




Pulangnya suami dan ayah sepakat nyebrang sungai Mahakam, naik feri. Mengingat jalan di seberang lebih mulus dan mobilpun bisa meluncur tenang di jalanan. Alhamdulillah.

Sekian laporan dari Tenggarong, kapan-kapan mari jalan lagi jelajah 'dalem-dalem'nya Kalimantan. Keep peace, green and tropical from Borneo *apadeh






 
Powered by Blogger.