Thursday, January 27, 2011

..tidak bisa safe mode..

A problem has been detected and windows has been shut down to prevent damage to your computer.

If this is the first time you've seen this stop error screen, restart your computer. If this screen appears again, follow these steps:

Check for viruses on your computer. Remove any newly installed hard drives or hard drive controllers. Check your hard drive to make sure it is properly configured and terminated. Run CHKDSK /F to check for hard drive corruption, and then restart your computer.

Technical information:
*** STOP: 0x0000007B (0xF7A91528, 0xC0000034, 0x00000000, 0x00000000)


apa itu hd controller?
Lepi saya jelas sedang ditemploki New Heur. Level(9) di C: maupun D:
, dan baru terdeteksi tadi sore.

*sebel juga digandrungi miss sality mulu ~__~

Wednesday, January 26, 2011

[based on true story] Salam di Tengah Malam

Suatu petang di tahun 2003 sekitar pukul 3, Seruni yang tengah menginap di tempat tantenya mendengar berita naas; ada longsor yang cukup parah telah menewaskan banyak warga setempat. Ia yang tadinya diajak berenang oleh sepupunya akhirnya malah menonton evakuasi para korban longsor.

Sebuah pemandangan mengerikan terpampang di mata dua remaja itu; jasad para korban yang menggembung timbul ke permukaan air kali di dekat sawah dengan warna kulit yang telah membiru dan kaku. Aliran sungai membawa mayat-mayat tersebut hanyut hingga ke dekat rumah tante Uli, tantenya Seruni. Tak heran jika pakaian para korban telah rusak karena tercabik-cabik derasnya arus sungai.

Tibalah pada suatu kejadian janggal yang dialami Seruni selang beberapa jam kemudian setelah berita mengenaskan itu beredar. Bermula ketika ia menyapu halaman rumah, matanya tertumbuk pada sebuah sapu lidi bersandar dengan tenangnya di sana. Karena merasa risih, ia menaruh sapu tersebut ke tempat peralatan.


“Run, kamu lihat sapu lidi yang di luar tidak?” tanya paman sepulangnya bekerja. Seruni menoleh dan mengangguk.
“Oh yang tadi siang ya? Sudah kutaruh di tempat biasa Lik,” katanya enteng. Matanya kembali menatap ke layar televisi.
“Sapunya biar ditaruh di depan dulu, Run,” kata paman dengan nada agak menyuruh.
“Ah Paklik ini aneh deh, kalau sapunya ditaruh di situ kan enggak rapi!” protes Seruni.

Demi menjaga liburan Seruni, paman akhirnya mengalah. Dengan kerlingan jenaka matanya, ia berkata, “Yaa tidak apa-apa kalau kamu bisa bertahan malam ini…”
“Memangnya kenapa Lik?”
“Tadi siang kan ada banyak korban longsor yang tewas. Paklik hanya khawatir nanti malam kamu nggak bisa tidur nyenyak karena digangguin…,” ucap paman dengan agak misterius seraya menyimbolkan kutip dua di udara. Seruni tidak bodoh, ia tanggap dan paham apa maksudnya itu. Walau hidup di dunia yang berbeda, tetap saja kita hidup satu zaman dengan mereka, makhluk tak-kasat-mata.
“Paklik sudah ngobrol sama teman bapakmu yang cukup paham hal-hal begitu. Yaa coba ikuti sarannya saja. Lagipula di sini kan ada bayi—maksud Paklik tuh biar tidurnya tenang  gitu lho,” jelas paman menambahkan.
“Aih, Paklik jangan nakut-nakutin begitu. Seruni cuma nggak mau ada lidi di situ aja kok.”

Seruni tak bermaksud melawan paman. Hanya saja, mempercayai hal-hal gaib dengan tradisi aneh-aneh seperti menyandarkan sapu lidi di depan rumah itu terasa konyol baginya. Please deh, zaman modern seperti ini kenapa harus mempercayai hal-hal abstrak semacam itu? Begitu batinnya.

    Paman akhirnya mengalah, ia tak mau banyak berdebat lagi dengan keponakan labilnya itu. Ia hanya menghela napas dalam dan berpesan singkat, “Jangan salahkan Paklik kalau nanti malam ada apa-apa lho ya.”

000

Suasana selepas Isya kali ini rasanya cepat sunyi. Satu persatu penghuni rumah beranjak ke kamar masing-masing, kecuali seorang gadis berambut sebahu yang masih betah ngemil di ruang keluarga. Jam dinding berdetak-detak di dapur. Seruni sudah berencana akan menonton sebuah film bagus sekitar jam 10 ini.
Insomnianya belum berubah juga sejak ia masih sekolah menengah atas. Entah karena makin banyak hal menarik di malam hari atau apalah, yang pasti Seruni kesulitan tidur di bawah jam 12 malam. 

    Sementara itu, jarum jam sudah bergerak beberapa derajat. Desir pepohonan di luar sana menderak-derakkan tangkainya, menimbulkan suara malam yang senyap dan telah menyawakan keheningan yang sempurna. Dengan posisi yang nyaman, tak terasa pula mata Seruni semakin berat dininabobokan tayangan televisi.

Sayangnya kenyamanan itu tak berlangsung lama. Lamat-lamat ia mendengar suara berisik dari arah dapur. Seketika itu juga Seruni tegang, waswas mengira akan ada pencuri masuk. Sayangnya ia salah besar.

ASSALAMUALAIKUM.”

Sebuah salam tak lazim berasal dari sana. Bukan bisikan, tetapi lengkingan yang tak biasanya ia dengar. Seketika itu juga Seruni merasakan bulu tengkuknya meremang, badannya terasa dingin begitu mendengar salam ganjil itu. Secara otomatis, ia memejamkan mata berusaha untuk mengalihkan perhatiannya.

Televisi masih menyala. Degup jantung Seruni tak bisa membohongi rasa takutnya. Kerongkongannya tercekat, ingin menjerit dan meneriakkan siapa di sana tetapi suaranya tak kunjung keluar. Bermacam ayat-ayat Quran ia baca dalam hati, berharap makhluk itu segera pergi. Mereka yang secara nalurinya adalah makhluk penggoda, sudah seharusnya doa adalah tameng utama dalam menghadapi mereka.


ASSALAMUALAIKUM.”

Lagi-lagi salam melengking itu. Detik-detik waktu serasa berjalan sangat pelan. Seruni ingin lari ke kamar saudaranya tapi rasa takutnya seperti melumpuhkan otot-otot kakinya. Jangankan berlari, membuka mata saja ia tak mau. Sayup-sayup, Seruni mendengar ‘obrolan’ makhluk melengking itu.

“Ah sudahlah, mungkin anaknya sudah tidur…” Terdengar grasak-grusuk tak jelas, timbul-tenggelam tak tahu apa yang sedang dibicarakan. Sepertinya teman makhluk tersebut masih tergoda untuk menjahili gadis yang kini meringkuk ditonton televisi.

Grasak-grusuk. Grasak-grusuk.

“Sudah, ga usah diganggu lagi. Tuh kamu lihat, anaknya sudah tidur. Ayo, kita pergi saja…”

Grasak-grusuk. Grasak-grusuk.
Lalu hening, sehening-heningnya malam.


000

     Begitu sadar dari malam menyeramkan itu, tahu-tahu Seruni terbangun dengan tubuh penuh keringat keesokan harinya. Mungkin ia banjir keringat dingin lalu terlelap setelah kelelahan mengalami ketakutan yang menguras ruh dan pikirannya. Badannya pun sakit akibat meringkuk di kursi tanpa ada perubahan posisi tidur yang benar. Yah, paling tidak tidurnya aman berkat doa-doa yang ia ulang semalaman.

“Gimana tidurnya semalam, Run?” goda paman seraya tersenyum penuh kemenangan. Sepertinya beliau tahu bahwa ada sesuatu tadi malam. Tanpa menggubris ledekan paman, Seruni bergegas menuju tempat peralatan dan cepat-cepat meletakkan sapu lidi di depan rumah. Gadis itu mengerlingkan pandangan ke sapu lidinya, sejenak ia teringat obrolannya dengan tante tadi subuh. Aku juga mendengarnya Run, saking takutnya tante cuma bisa diam. Itu pengakuan tante, sementara penghuni rumah lainnya tak mendengar suara apapun. Seruni menghela napas panjang sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam rumah.

Kita tak pernah tahu apakah semuanya akan serba cuek dan tak ambil pusing dengan hal-hal selain dunia masing-masing. Tapi satu hal yang Seruni pelajari dalam liburan kali ini; tak semua hal bisa kita pahami secara visual dan logika.




Saya pernah mengikutsertakannya dalam lomba Scary Moment, dan alhamdulillah belum beruntung untuk menang. Mangkanyah saya share sama temen-temen siapa tahu ada kritik, saran dan nasehat buat cerpen ini...

Menyasari Kampung Gunung Ketur…



Saya berhasil mengajak pepi jadi-jadian untuk nyari jalan
Bukan salah saya kalau ternyata tak ada kendaraan umum ke Jalan Ki Mangunsarkoro Yogyakarta, ya nggak ya nggak? Yang saya dapat dari hasil nanya saya sebelumnya, saya mendapatkan primbon jalur bis kota Yogya. Alhamdulillah, ada jalur 12 menuju jalan dekat sana. Akhirnya kami berangkat menuju lembah UGM demi mendapatkan bis menuju sana. Tapi nyatanya pak sopir bilang bahwa bis jalur 12 tak lewat sana.

Berbekal mental nekat karena percaya pada primbon, kami memutuskan agar tetap naik bis jalur tersebut. Siapa tahu ketemu jalan yang saya kenal kan bisa berhenti di situ.

Setelah sebelumnya saya sms salah seorang teman yang sering lewat daerah sana, ia sms balik saya dan memberitahu bahwa bis jalur 3 lewat persis ke sekolah yang akan saya tuju.
Dari Gejayan.


Waks, berarti kami harus cepat-cepat turun sebelum bis itu bertambah jauh dari area Mirota. Diiringi suara kemarahan sang sopir karena ongkos tidak disiapkan dan kami mesti turun mendadak, dengan kalemnya kami berjalan ke arah bunderan UGM demi mencari bis jalur 3.

Semenit… dua menit… lima menit…
Tak ada bis yang kami maksud. Akhirnya kami bertanya pada bapak-bapak becak yang ngetem di situ. Dan guess what…
“Oo iya jalur 3 memang lewat sana, tapi sudah cukup lama tidak beroperasi lagi…”

Alhasil, becak jadi pilihan juga untuk menuju sekolah.
Hebat, di tengah kota dengan lalu-lalang kendaraan bermotor, hanya kami yang telah berpenampilan rapi jali seperti mau memenuhi panggilan pekerjaan ini duduk narsis di depan pak becak yang semangat mengayuh ngebut becaknya demi selembar rupiah.

000

“Oh, beliau sedang ada perlu keluar dulu, mbak. Barangkali nanti sekitar jam 11 beliau baru kembali lagi ke sini,” begitu kata pihak sekolah ketika kami sampai di sana. Tak apalah, mungkin jam setengah sembilan memang jam sibuk. Saya berinisiatif untuk memaksa mengajak mbak amel kembali mencari kendaraan untuk pulang nanti.
Sekalian cari makan untuk sarapan.
Sekalian cari warnet buat killing time.
Sekalian…

Kaki saya terhenti di sebuah gerbang (?) tua, agak berlumut. Untuk beberapa detik saya terpekur tak berkata apa-apa. Di hadapan saya terdapat semacam gapura tinggi. Tepat di puncaknya terdapat lambang mirip kesultanan Yogyakarta. Kanan-kirinya terdapat patung kecil. Mbak amel langsung semangat bergaya narsis di depan gapura aka minta foto.


Tahu-tahu kami sudah masuk ke halaman yang cukup luas. Ada sebuah paviliun yang berfungsi sebagai ruang tunggu dokter neurologi (bener gak yah nulisnya). Sebuah bangunan di pojok juga tertutup rapat, mungkin itu tempat praktik si dokter. Nangkring pula sebuah beringin besar di sampingnya. Hadeh booo, tadinya saya sudah mikir macem-macem jangan-jangan ini bangsal buat orang-orang sakit jiwa…

Saya tebak mungkin tadinya halaman sebelah kanan itu merupakan lapangan basket mini. Di sebelah kirinya, kami juga melihat terdapat nyaris selusin mobil antik yang sengaja ditutup agar tak kotor.

Mata saya tertuju pada patung-patung tua di sebelah parkiran mobil-mobil antik tersebut. Kebanyakan patung berbentuk manusia. Barulah di sebelahnya terdapat sebuah rumah sederhana, nyaris tertutup dedaunan saking rindangnya. bahkan tadinya saya kira ini tempat ibadah Nasrani atau Buddha. Tapi sepertinya bukan.

Di sebelahnya terdapat ruangan luas dengan atas atap yang berhias serupa pada puncak gapura depan tadi. But what a mess, isinya berantakan. Ada meja di luarnya yang dibiarkan basah kehujanan, rembesan air di lantaipun dibiarkan menggenang, beberapa lampu gantung tampak ditempatkan sekenanya, dan berbagai barang antik (terutama sarat ukiran) itu benar-benar tak beraturan. Dan suasana gelap sepertinya selalu hadir, padahal jam setengah sepuluh bukan lagi hari yang temaram ketika kami berkunjung ke sana.

Pada awalnya kami sama sekali tak melihat tanda-tanda kehidupan disana. Tapi ternyata rumah di pojokan itu ada penghuninya. Beberapa anak kecil tampak berlari keluar, lalu dalam sekejap kembali berlari ke dalam rumah.

Seorang wanita sepuh tampak berjalan dari arah gapura. Dengan slonong girl, mbak amelpun menyapa simbah tersebut. Dengan kesempatan yang bisa dibilang beruntung, dia berhasil mengorek keterangan bahwa kami telah nyasar ke salah satu pemilik rumah ningrat aka saudara/kerabat kesultanan Jogja. Beliau juga menjelaskan bahwa dokter yang ternyata kerabat sultan itu merupakan dokter pribadi pakar telematika Pak Roy Suryo. Siapa sih yang nggak tahu nama gampang dihapal begitu… ^^

Iseng saya tanyakan apa boleh saya ambil gambar di sini, wanita tersebut menghilang sekejap!

Boong ding, beliau bilang saya harus meminta izin si pemilik rumah dahulu. Wah jadi nyesel saya tanyain… jadinya pan ga bakal saya sebarin itu tempat. Hoho, maap ya temans… bukan karena gimana-gimana tapi ya gimana lagi wong udah nyangkut privasi orang kan? Jadi saya hadiahkan gapura depan doang dengan hiasan orang keasikan narsis ini… *digebuk mbak amel

Kami melanjutkan perjalanan mencari makan. Heran juga ternyata warung makan di daerah ini jarang kami dapati.

Ujug-ujug kami nyasar ke sebuah perkampungan. Kami melewati beberapa rumah tradisional yang tampak kurang terawat. Halamannya rata-rata tertimpuk dedaunan kering dan tampaknya memang tak pernah dibersihkan. Pintu maupun kusen rumah kebanyakan berbahan kayu tanpa kaca. Warna-warnanya sudah pudar, catnya juga banyak yang telah mengelupas.

Lagi-lagi, mata saya tertuju pada sebuah atap bangunan di ujung jalan. Pagarnya melebihi kepala kami. Mungkin sekitar 2-3 meter. Atap tersebut juga memiliki lambang kesultanan Jogja. Seorang lelaki paruh baya tengah berdiri di depan pagar bangunan. Sesekali orang yang melewatinya menyapa sekilas. Dan seperti biasanya naluri wartawan mbak amel mulai menggejala. Dia mendekati si bapak dan tanpa terasa ketidaksengajaan interviewpun dimulai. Dari informasi yang kami dengar, bangunan ini juga merupakan rumah kerabat keluarga kesultanan. Di tengah pembicaraan kami, dua orang lelaki muncul dari pertigaan rumah. Keduanya menggendong tas ransel dan… cakep.

Bener kan, pep?? *nyenggol mbak amel sambil nunduk sok malu-malu
Kemudian si bapak juga menjelaskan bahwa kedua lelaki tersebut merupakan ndoro aka tuan-tuan kerabat sultan juga. Setelah sekitar setengah jam kami ngobrol, akhirnya kami berpamitan dan kembali meneruskan perjalanan demi menemukan sosok warung makan.
Pada akhirnya jauh-jauh kami jalan demi mencari sarapan, ternyata ada sebuah warung di depan sekolah… krik krik krik…

Mungkin itulah kesalahan fatal kami. Jangan sekali-kali makan setelah berjalan jauh kalau niatnya setelah itu adalah bekerja atau menunggu. Efeknya benar-benar parah. Selain amat-sangat lemas, kami diserang kantuk yang luarbiasa dahsyatnya… *lebay
Selang 2 jam kemudian, seseorang memberitahu bahwa mungkin orang yang saya cari tak bakal kembali ke sekolah. Baiklah, akhirnya kami pulang dengan jalur yang sudah kami ketahui tadi.

000

Agaknya ini memang hari yang janggal. Setelah tujuan saya belum berhasil tercapai, malam harinya saya dibawakan magnum oleh Putri. Oh God, Alhamdulillah…
Dari mulai mendoan, putu hingga magnum… sudah Engkau kabulkan. Kalau rezeki emang ga bakal lari kemana… huehue…























Selasa malam, 25 Januari 2011
Saya berhasil menemui orangnya sebelum beliau pergi ke Sulawesi Rabu ini ^^
Carpe diem.


Thursday, January 13, 2011

Cilacap Sang Negeri Angin




Sok jadi potografer, lumayan juga hasilnya.
Pipit juga jadi kerasukan jeprat-jepret... hihi..
Banyak yang saya sotoyshop, tapi mudah-mudahan ndak mengurangi keindahan pemandangan aselinya...

By Samsung digital camera milik Pipit

Wew, what a beautiful moment i've got there. Zillion thanks to Pipit, semoga ga kapok kalau kapan-kapan saya maen ke sana lagi...
Makasih untuk pantai, penerimaan, angin, dan makanannya... :D

Jatijajar




Nyaris tengah hari saya dan Pipit mengunjungi objek wisata ini. Sepi euy, soalnya kami pergi pas hari pertama liburan usai alias hari Senin...
Maaf kalau banyak yang blur dan tidak jelas, karena memang suasana di dalam gua seperti ini.. :D

 
Powered by Blogger.