Wednesday, July 21, 2010

[berbagi sedikit ke-PeDe-an] Bertemu Sohib di Bumi Parahyangan




Hihi, alhamdulillah lancar-lancar aja selama di Bandung.
Senang sekali bertemu kembali dengan Mbak Nopek, mbak kos saya dahulu yang sekarang bekerja di Bandung. Sambil melepas kangen, saya jadikan foto ini untuk kenang-kenangan selama kebersamaan kami di sana :)

Peluh-peluh Jalanan




Pinginnya sih foto ekspresi...
tapi berhubung malu fotoin pas di depan orang, mending dari kejauhan sajalah. Toh masih banyak kisah yang diambil dari potongan-potongan foto ini :)

Apa yang kalian rasakan melihat mereka?

Langit dan Bumi [pesona Kuningan-Bandung]




Harmoni yang takkan pernah manusia cipta
Seperempat bahkan setetespun tidak

Kau bilang natura terkadang selalu begitu adanya
Dia membiru, menghijau atau memutih
selalu seperti itu

Mungkin tidak begitu bagiku
Mereka seperti denting mengejutkan neuron pekat dalam selasar anatomiku
Mereka mahakarya tunggal dalam triliun atom yang terkarsa

Langit akan selalu megah untukku
Dan bumi selalu berdandan cantik di hadapanku

Mereka berkelebat seakan mengawasi
Mereka mencucup tanah seakan ingin merengkuh dunia

Aku diam menyanjung kalian, wahai Alam
Jangan alihkan aku dengan yang lain

Izinkan aku merangkak pelan menuju pencipta kalian...

Yogyakarta Menuju Kuningan




Saya dijemput Apak setelah beliau selesai mengikuti Muktamar Muhammadiyah di Yogyakarta. Jepretan selama di perjalanan memang tak banyak sebab batere hape juga sangat terbatas (kecuali foto dua jerus nipis kuning terakhir saya foto di jendela kamar keesokan harinya) ^^

Saturday, July 10, 2010

Buka Hati, Maka Mereka Ada

Alhamdulillah setelah beberapa tahun lamanya sepupu saya Teh Ana, akhirnya menikah juga. Tepat di hari saya menjari tombol hape, tepat di hari pertama beliau dinobatkan sebagai seorang isteri.

Sayangnya saya ketinggalan event ijab qabul, tapi sempat menyaksikan pasangan baru ini shalat dhuha bersama di dalam mesjid. Selain itu, pembacaan Quran juga banyak menghiasi suasana sakral pernikahan mereka. Subhanallah, mudah-mudahan keluarga mereka dipenuhi keberkahan dan kemuliaan nur Islam. Amin.

Saya sempat terkantuk-kantuk karena semalaman harus berbagi tempat dengan dua adik saya yang hobi menguasai kasur. Tapi toh tak mengurangi kebahagiaan saya bertemu dengan pecahan keluarga Apak yang berpencar di mana-mana.

Saya bertemu dengan Windi alias Wida, teman sepermainan saya ketika umur saya belum genap 6 tahun. Wida mengalami keterbelakangan mental sejak lahir. Tambah lagi, ia sering ditinggal orangtuanya bekerja. Maka jadilah ia anak yang penuh amarah. Hampir semua anak yang mendekatinya jadi korban amuknya, baik pukulan atau gigitan geligi. Mungkin salah satu faktor ini yang membuat namanya berganti menjadi Wida.

Hari ini wajahnya cerah, walaupun tatapannya tetap melamun seperti biasa.Wida menowel-nowel lengan Mamah dan mengulurkan tangannya. Rupanya ia ingin menyalam Mamah. Senang sekali melihatnya bisa berbahasa walaupun tak terlontar kata-kata. Saya sapa dia, reaksinya telah jauh berbeda dengan Windi 18 tahun yang lalu. Jika dulu ia salurkan bakat tinju pada orang yang menyapanya, kini ia melukis sebuah lengkungan indah di bibirnya. Subhanallah, Wida tak cacat sedikitpun, tak ada yang sia-sia atas ciptaanNya.

Nuansa di perhelatan nikah Teh Ana seperti lebaran. Keluarga kami semuamuanya berkumpul dalam rasa syukur. Tak terkecuali Uwak saya. Begitu rombongan beliau tiba, mereka menyalami kami dengan wajah berseri-seri.
Namun selepasnya mereka masuk ke ruang pengantin, mata Uwak berkaca-kaca. Ada lelehan airmata di sela bulu matanya.
"Ana sudah ada yang mendampingi sekarang. Jadi teringat pernikahan Dik Titin dahulu, miriiip seperti Ana sekarang. Pas tadi lihat foto almarhumah Titin, Uwak tambah ga kuat..." Terisak. Tak terasa airmata sayapun ikut menggenang, turut mengenang kepulangan ibu kandung Teh Ana, Bi Titin, adik Apak, beberapa tahun yang lalu. Almarhumah tak sempat melihat anaknya menikah, tapi insyaallah tak akan pernah ada penyesalan melahirkan anak-anak salih/ah seperti Teh Ana. Alhamdulillah..

Lalu, apa benar semua yang hadir hanya menampakkan kegembiraan? Sepertinya tidak, setidaknya saya yang merasa.

Teh Ana menyewa seorang perias khusus muslimah untuk pernikahannya. Teh Lia namanya, kebetulan beliau tetangga sebelah rumah Apak. Mamah menyapanya begitu beliau melintas. Setelah bercakap-cakap sebentar, beliau melanjutkan rencananya menyantap hidangan. Beliau menyudut di antara para undangan, menyuapkan makanan yang ia ambil.

Perhatian saya terusik, terus mempedulikan gerak-geriknya. Sambil kembali menerawang mengingat-ngingat mozaik kenangan dalam memori. Suaminya telah mendahuluinya menemui Sang Khalik, meninggalkan seorang anak laki-laki yang masih amat belia. Dulu almarhum sering mengajaknya jalan sore, entahlah keadaan putera semata wayangnya yang kini berdua saja dengan Teh Lia. Tiba-tiba saya jadi sentimen sendiri, merasa ikut kesepian bila berada di posisi Teh Lia.
Dalam hingar bingar kegembiraan orang-orang, apakah ia teringat kenangan pernikahannya dahulu bersama almarhum? Kesepiankah dirinya bepergian tanpa pendamping?

Ah, sepertinya saya cerewet sekali menduga-duga yang belum tepat benar. Tak apa-apa ya? Sekedar curhatan hati susah-senang untuk selembar hari ini kok. Cukup sudah penglihatanku menuju sana situ, setidaknya penglihatan hatiku belum pernah mengabur untuk berbagi dengan kalian.

Teh Ana, barakallahu atas pernikahannya. Baik-baiklah dengan suamimu. Ia mungkin akan masih asing, tapi kuyakin kau bisa membuatnya merasa lengkap dengan adanya kau dalam perahu layarnya.

Ciawi, 10 Juli 2010

Tuesday, July 6, 2010

‘Sahabatkah’ Aku Untukmu?


Teman-teman, aku ingin berbagi cerita mengenai seorang gadis manis di SMA-ku dulu. Aku mengenalnya sebagai Nila. Berperawakan kecil, tipis dan tak pernah kusangka akan menjadi salah satu teman terbaikku. Dua tahun kami berada dalam kelas yang sama. Tahun pertama kami tak begitu bagus. Pertengkaran kecil agak sering terjadi antara kami berdua. Pikiran kami kadangkala bertolak belakang dengan tajam.

Pernah suatu ketika kami berdua dapat nilai sempurna dalam ulangan matematika. Tentu sudah bukan hal baru banyak teman yang ingin tahu nilai teman-teman yang lainnya.
“Kamu dapat berapa?”, “Kamu betul berapa nomor?”, “Aku lihat hasil ulanganmu dong, mau kucocokkan…”, dan pertanyaan-pertanyaan lain yang serupa.
Aku senang karena kali ini aku berhasil menguasai materi sehingga bisa mencapai nilai bagus. Maka dengan rasa senangku yang kentara terlihat, aku menjawab jujur pertanyaan-pertanyaan mereka bahwa aku dapat nilai sepuluh. Nila yang tepat berada di depan bangkuku sampai menolehkan kepalanya ke arahku seraya berkomentar…
“Eh biasa aja sih, sombongnya…,” begitu katanya dalam gumaman yang jelas. Sontak rasa senangku berbalik menjadi reaksi marah. Aku benar-benar tersinggung mendengarnya. Boleh saja bilang ‘Biasa saja’ tapi mengapa harus tersemat kata-kata ‘sombong’ di ujungnya? Menyakitkan sekali.
“Maksudnya apa?”
“Yaa, rendah hati sajalah. Nggak usah segitunya pamer…”
“Kamu pikir kamu sendiri enggak sombong? Pura-pura merendah padahal kenyataannya sok merendah dengan tak mengatakan yang sebenarnya…,” balasku masih agak sakit hati. Nila memang terbiasa mendapat nilai sempurna hampir di setiap mata pelajaran, terutama hitung-hitungan beserta rumus dan kroni-kroninya. Tak wajarkah aku yang jarang mendapat kesempatan mendapat nilai sepuluh ini bergembira sebentar hanya untuk hari ini saja?
Untungnya teman-teman terdekat kami langsung menenangkan suasana panas tadi sesegera mungkin. Dalam hati aku malu sekali sampai ditonton beberapa anak kelas kami kala itu.
    Kalau kuingant-ingat lagi, rasa geli menggelitikku untuk tak menahan tawa. Sikapku yang terkadang ingin menang sendiri mungkin membuat Nila benci setengah mati. Kami kekanakkan sekali kala itu. Tapi entah sejak kapan kami tiba-tiba tertawa dan menangis bersama, saling melempar curahan hati yang tengah bergelut di ruang hati.

*

    Nila pernah bercerita bahwa dirinya sedang dekat dengan seorang ikhwan kota kembang. Mereka bertemu di YM dan sudah berkenalan sampai tahap pertukaran nomor telepon seluler. Lalu kutanyakan padanya apakah mereka serius menjalani hubungan maya seperti ini. Nila mengangguk. Kunasihati Nila agar jangan mempercayai hubungan maya sepenuhnya karena kita tak selalu pintar memilah teman dan tak selalu tanggap untuk menyadari kehadiran seorang penipu.
Kemudian kutanyakan lagi apakah mereka sudah bertatap muka secara langsung. Lagi-lagi Nila mengangguk dengan agak tersipu. Kutasbihkan asmaNya dalam hati, bersyukur bahwa Allah masih menjaga kejujurannya padaku.
    Aku tak berani menanyakan lebih jauh lagi. Yang penting, aku bisa membuatnya merasa nyaman saat terbuka mencurahkan isi hatinya padaku, terlebih dia adalah tamuku di rumah sederhana Apakku.
    Beberapa waktu kemudian, aku dikejutkan dengan sikap Nila yang lain dari biasanya. Dia mendatangiku dan bercerita kembali tentang hubungannya dengan ikhwan tersebut.
“Awalnya kami sms sebatas mengingatkan dan berkirim doa, tapi lama-lama ia berani menelepon dengan alasan ingin curhat. Aku tak tahan lagi Ve, dia terlalu sering menghubungiku di malam hari! Aku tak enak pada teman sekamarku walau hapeku sudah di-reject sekalipun, padahal aku butuh menyalakan alarm-nya agar bisa bangun pagi… Sekarang dia benar-benar seorang pengganggu, apa tak sadar kalau aku ini seorang pelajar yang butuh istirahat cukup untuk menghadapi ujian?!”
    Ada isak di sela kepengapan hatinya. Luar biasa dalam tubuh kecil itu harus terus menahan himpitan kesal dan amarah agar tak diwarnai mood buruk sepanjang hari. Kusarankan sekedar yang kuperkirakan bisa mengalihkan moodnya barang sebentar. Tak lupa juga kuberikan masukan sebisaku agar setidaknya bisa membuatnya tidur nyenyak. Ah, aku sebal karena tak bisa membantunya lebih banyak.
*
    Kelulusan selalu menjadi buncahan kesedihan pada setiap manusia. Begitu pula ketika menyadari bahwa kelas tiga mungkin titik terberat untuk melepas sahabat-sahabat terbaik yang pernah menyulam kenangan bersama-sama. Dupa kesuraman telah tercium bahkan sebelum ujian kelulusan tiba. Kami semakin merenung dan masyuk berdoa agar semuanya bisa lulus dan menuju tujuan masing-masing dengan cemerlang. Tapi hal ini juga yang menyadarkan kami untuk harus siap memotong rajutan kebersamaan. Semuanya harus menuju ke arah yang mereka tuju untuk masa depan.
    Aku dan Nilapun harus rela melepas kebersamaan saat masa sekolah. Aku menuju timur dan gadis berkerudung besar itu menuju barat. Sama-sama merantau mencari persinggahan baru di kota baru, sama-sama mencari jati diri dan mengerucutkan tujuan hidup masing-masing.

Tak lupa kami terus saling berkomunikasi. Bukan hanya sekedar candaan dan melepas rindu saja, kami tetap saling mengingatkan agar menjadi teguran, juga saling menasehati ketika terdapat masalah yang sulit dipendar-pendarkan.
Pernah suatu hari Nila mengirimkan satu pertanyaan padaku: “Menurutmu, sahabat itu apa Ve?”. Aku berpikir persahabatan bagiku hubungan yang tak pernah terlupa dalam ingatan selama kita hidup. Yang penting adalah perasaanku pada orang yang kuingat tetap kuanggap sahabatku sekalipun dia mungkin tak pernah menganggapku ada,. Singkat saja jawabanku, tapi baru kutahu sekarang ternyata aku salah.
Berjam-jam lamanya Nila tak langsung membalas short message-ku. Barulah tengah malam ia membalas: “Insyaallah Ve, kamu selalu menjadi sahabatku”.

    Saat lewat tengah malam, Nila pernah mengirimkan pesan singkat agar aku meneleponnya. Masih dalam kesadaranku yang belum sempurna benar, aku meneleponnya agar bisa mengetahui kabar terbarunya juga. Telepon diangkat, sedikit basa-basi terlontar. Lalu sampailah akhirnya pada kalimat pertama yang membuatku sadar sepenuhnya.

“Aku sedang benar-benar bingung Ve, tak tahu harus kubagi dengan siapa? Kamu masih hapal dengan ikhwan yang pernah dekat denganku itu kan? Tahukah kamu ternyata dia telah bertunangan dengan seorang wanita yang lebih cantik dariku…” Kemudian kutanyakan mengapa ia sampai bisa tahu bahwa ikhwan tersebut sudah memiliki seorang tunangan. Tak ada isak di sana, hanya suara tertekan yang bisa kutafsirkan dari nada bicaranya.

“Wanita itu sendiri yang meneleponku, mengaku, dan memintaku untuk menjauhi si ikhwan! Bagaimana bisa dia berpikir bahwa aku telah hampir merebut seorang tunangan darinya? Tidakkah dia berpikir bahwa aku ini sama-sama seorang wanita? Mana tega aku merebut tunangannya. Mana kutahu juga kalau ternyata ikhwan ini sudah punya calon, bahkan telah bertunangan…”
 “Kami merencanakan sesuatu untuk ikhwan itu. Dia meminta tolong agar aku yang membujuknya untuk kembali pada tunangannya. Aku yakin ia menginginkanku untuk memutus hubungan dengan tunangannya. Tapi tak apa, aku terlanjur setuju sekaligus sakit hati sudah dibohongi seperti ini.”

Ada nada mantap di sana. Aku bersyukur karena selama dua jam ia menumpahkan kekesalannya bisa membantu sirkulasi emosinya hingga bisa berjalan normal kembali. Nila berterimakasih karena aku relakan waktu tidurku terpotong di tengah malam untuk mendengarkan semua keluh kesahnya.
“Jangan sepertiku ya Ve, tak usah menanggapi kesungguhan seseorang yang berada di dunia maya. Pokoknya sebisa mungkin hindari saja, jangan sepertiku ya? Benar-benar jangan.”
*

Dan… apakabar Nil? Lama tak kudengar beritamu. Apa kamu sehat-sehat saja di sana? Maafkan aku tak datang ke undangan pernikahanmu dengan ikhwan lain yang insyaallah lebih baik dari yang terdahulu.

    Terakhir kali sebelum aku mendengar kabar pernikahan Nila, ia telah mantap berpindah harokah. Jelas aku tahu karena sebelum ia berpindah ia bertanya padaku mengenai ketepatan keputusannya sekaligus ingin mengetahui pendapatku. Kubilang padanya bahwa suatu keputusan yang sifatnya imani tak bisa dipengaruhi siapa-siapa karena yang bisa memutuskan hanyalah yang merasa. Harokah manapun itu selama dalam istiqomah naungan Islam, aku bilang akan terus mendukungnya. Aku bukan ahli ibadah yang serbatahu ini dan itu maka kuserahkan sepenuhnya pada Nila untuk memilih.

Selang waktu beberapa minggu ke depan, hubungan kami masih seperti biasanya. Yang aku tahu, beberapa teman lama kami marah pada Nila atas keputusannya yang dianggap tergesa-gesa. Bahkan salah seorang diantaranya terang-terangan menyatakan ketidaksetujuannya atas hijrahnya ia ke harokah yang lain. Aku bisa merasakan bagaimana rasanya diperlakukan seperti itu. Padahal Nila sendiri butuh dukungan dan motivasi untuk membangun sebuah kepercayaan. Syukurlah ia bukan gadis bermental lemah. Setiap batu sandungan yang ia alami dijadikannya batu pijakan untuk berdiri. Aku benar-benar salut ketika melihat ia tampil sebagai identitas harokah yang diyakininya.

Entah sudah berlangsung berapa tahun lamanya, Nila tak pernah bercerita kembali, tak pernah ada sapaan kabar selama beberapa tahun terakhir ini, juga tak pernah ada sapaan hangat dalam sebuah jejaring sosial yang kami ikuti. Hanya akunnya yang tampil maksimal dengan sangat percaya diri, seolah-olah berkata pada dunia: inilah aku!

Sebuah sapaan hambar pernah singgah di layarku lalu lenyap tanpa sempat berbalas salam berpisah. Pernah pula sengaja aku curhat soal ini dan itu, lalu kutahu kemudian bahwa Nila tak seperti dulu. Suatu kesalahan yang besar telah bercerita banyak karena ia hanya mengirimkan sebuah link untuk solusi masalahku. Hei, ada apa ini? Apa dia pikir sebuah link sudah cukup manusiawi untuk menenangkan sebuah perasaan?
Sampai saat ini, aku tak tahu apakah makna ‘sahabat’ yang ia utarakan dulu masih ada untukku. Sampai hari inipun aku tak menemukan benang merah untuk bisa kusambungkan kembali. Yang bisa kutebak, aku tak merasakan aura persaudaraan diantara kami. Aku tak bisa menggapainya lagi. Pesan-pesan singkat sudah kukirim tanpa kuabaikan bahwa ia kini memiliki seorang suami. Tapi tak pernah ia balas. Ukhuwah yang dulu ia bangga-banggakan sepertinya telah turun harga, ia tak mau meliriknya sama sekali. Mungkinkah aku cuma pengganggu kehidupannya? Maka tak pernah kuhubungi lagi setelah itu.

Tadinya aku berharap… ketika kamu dan aku bertemu dalam sebuah pertengkaran, paling tidak aku ingin mengakhirinya dengan sebuah persahabatan. Lalu mengapa aku merasa hubungan kekeluargaan tak pernah hinggap lagi bersama dengannya? Haruskah kusesali keputusan terakhirnya yang tak bisa kucegah? Tapi akupun tak mau menyesali bahwa pernah ada seorang teman yang baik yang pernah Allah anugerahkan untukku, walaupun tak mungkin kupungkiri hati ini masih perih bila mengingatnya.

Masih segar dalam ingatanku, ia meminta agar pengalaman hidupnya diceritakan agar orang lain tak gegabah dalam berkomunikasi dengan dunia maya. Ini adalah tanggal dimana aku telah selesai membuatnya, tepat pada saat ia berulangtahun.
Hanya bisa kudoakan agar Nila berbahagia dengan keluarga barunya. Selalu dalam rahmat dan ridhoNya, dan semoga ada sahabat-sahabat baik lain untuknya. Bila suatu hari dia nyasar dan membaca tulisan ini, aku ingin dia tahu bahwa dia adalah salah satu teman baikku selama aku hidup.


Kado ke-23 tahun untuk L.A.
6 Juli 2010 dinihari
Kita dilahirkan dalam selisih hari,
Tapi prinsip kita seperti magnet dengan dua kutub yang sama…

Ditujukan untuk lomba
Berbagi Cerita Dengan Kata

Saturday, July 3, 2010

Kepada yang Menungguku



Aku minta maaf tak pernah sekalipun menemuimu, padahal
Engkau telah dengan sejatinya sengaja mengunjungiku saat aku tak ada sekalipun

Aku minta maaf belum pernah sekalipun berkirim salam secara langsung padamu, padahal
Engkau telah sengaja meluangkan diri untuk menyapaku saat pagi ataupun malam

Aku minta maaf tak pernah menanggapi secara serius pada niatanmu, padahal
Engkau telah menyatakan diri untuk menjadi pendampingku kelak

Aku minta maaf tak memiliki hati padamu, padahal
Engkau telah menaruhku di hatimu


Yogyakarta, 17 Juni 2010
Terinspirasi kisah seorang sahabat

Tersadar



Masih dalam malam yang melanglang buana,



Waktu terus merayap tetap tak bisa dijegal apapun

 
Aku coba menahan napas, tapi tak kuat
Bagaimanapun aku tak bisa menghemat jatah napas hingga kapanpun
Terus berhembus, teratur, tak berjeda kecuali disengaja

 
Lalu kuhadapkan muka dihadapan cermin
Berkali-kali aku menatap bayangan di seberang sana,
Mungkin baru hari ini aku menyadari
Bahwa kulit berumur duapuluhan tak sama dengan yang berumur belasan
Kalaupun ia makin bernoda, namun kematangan telah ada di sana
Mengganti posisi polos yang menggemaskan dahulu

 

Lalu kalian menyapa, mengucap, dan mendoakanku hari ini
Mungkin aku sakit hati
Karena mungkin kalian hanya mendoakanku hari ini saja
Dan aku benci,
Karena baru menyadarinya
Tapi mungkin juga aku senang, karena tak pernah ada lilin dan kue
Di setiap Juli ketigaku

 

Mungkin setiap hari aku berdoa di sela-sela ibadah lima waktuku
Tapi baru sekarang menyadari,
Bahwa doa tak sekedar harapan
Ia telah menjadi kekuatan dan penopang kegalauan iman
Ah,
aku baru memikirkannya detik ini

 
Ternyata sudah cukup kusyukuri
Ada orang yang sudi melahirkanku
Ada yang sabar mengajariku ini dan itu
Ada yang mencemaskanku tiap waktu
Dan berterus terang ia selalu berdoa untukku
Walau aku bodoh untuk menyadari ceruk kasihnya untukku

 

 

 

 


Untuk pemilik rahim di seluruh jagat,

Dari anak yang suka menjadi-jadi


Terimakasih teman-teman, kalian adalah hadiah terbaik yang Tuhan titipkan untuk menemaniku

Friday, July 2, 2010

For The Rose


Aku tak yakin tepatnya kapan tetapi kami bertemu saat masa-masa sekolah-menengah-atasku akan berakhir. Tambah lagi, aku lupa bagaimana caranya kami bisa sangat dekat. Yang kutahu, kami sama-sama menyukai buku, tak ketinggalan pula komik.

“Eh? Komik apa itu Teh?” Mungkin begitu kataku waktu pertama kali bertemu. Beliau sedang mengisi waktunya dengan membaca komik serial yang sepertinya tak asing bagi aku.

Zaman sekolah kuisi dengan segala imajinasi liar yang bisa kukeluarkan seluas-luasnya kala itu. Tak salah bila aku hapal setiap cover komik yang kutemui dimanapun. Walau tahu kota kelahiran kecilku ini tak ada apa-apanya terhadap perkembangan teknologi termasuk buku-buku terbaru di luar sana, aku tetap bisa mencarinya di internet yang baru masuk sekolah. Walaupun di sana tengah huru-hara dapat kenalan si ini dan si itu, toh aku selalu dapat kesempatan untuk menggunakan komputer sekolah.

Teteh menolehkan wajahnya ke arahku, tak lupa senyumnya terkembang. Beliau menampakkan cover komik yang tengah dibacanya. Benarlah dugaanku, itu serial cantik rupanya.

“Suka baca komik Neng?” Aku mengangguk. Secara refleks, senyumku melebar dengan sendirinya. Mungkin mirip Garfield yang ketahuan mencuri ikan oleh majikannya, atau seperti Chesire Cat yang meninggalkan bayang geliginya sebelum menghilang.

“Suka banget Teh! Ini pinjam ya?”

“Iya.”

“Dimana? Boleh kupinjam dong?”

“Di dekat rumah ada rental buku kok. Nih, Teteh pinjamkan yang ini dulu ya. Biar kamu ngerti awal-awal ceritanya.” Ia menyodorkan komik seri pertamanya padaku.

“Hehe, makasih Teh…kirain si Teteh tak suka baca komik.”

“Wah Neng suka baca toh… tahu begitu Teteh pinjamkan dari dulu-dulu. Teteh sering pinjam kok.”

Aku hanya nyengir mendengarnya. Dari dulu aku juga heran mengapa tak semua penjaga toko Apak bisa langsung akrab denganku. Jadi serasa Profesor Snape yang dijauhi anak-anak Gryffindor saja…



Teteh dipanggil Ibah oleh teman-teman toko dan keluarganya. Aku tak pernah menanyakan ataupun tahu dengan pasti siapa nama panjangnya. Biarlah mengalir selayaknya saudara.

Tak ada yang kuketahui tentang ayahnya. Yang kudengar sudah meninggal dunia. Sementara ibunya… -entah bagaimana harus kuceritakan…- mungkin bisa kugambarkan sebagai sosok yang tak mau ambil pusing terhadap segala sesuatunya. Uwaknya saja sampai harus terang-terangan membentaknya agar berusaha mencari pekerjaan dan bukannya menadahkan tangan pada saudara-saudaranya. Sangat berbanding terbalik dengan puterinya mencari nafkah sebisa mungkin sampai-sampai tubuhnya saja tak begitu terurus baik.

Walau tubuh kurus sepertinya rawan untuk hilir-mudik melayani kepentingan para pembeli, Teteh lincah sekali bergerak kesana-kemari. Terlebih saat tahun ajaran baru tiba, orang-orang berteriak agar mendapat jatahnya sesegera mungkin. Ada yang minta buku gambar, selusin pensil, mencari kitab kuning, pesan buku Yaasin untuk lima puluh orang, belum lagi pesanan sekolah yang menuntut barang dalam jumlah besar, di depan kasir menumpuk padat orang-orang yang mau membayar. Dengkulku capek.

Waktu tak mungkin terhenti saat itu. Tanaman tak mungkin selalu biji, alang-alang tak mungkin tak disandari laba-laba, umur tak mungkin selalu muda, sementara sekolah harus berganti tahun ajaran, dan aku tak ingin menjadi siswa selamanya. Aku berniat melanjutkan pendidikan di luar kota. Kota pelajar yang katanya penuh budaya yang kini kutempati menjadi tujuan utamaku; Yogyakarta.

Aku senang ketika saat inilah aku bisa memiliki handphone sendiri. Aku tak perlu meminjam handphone Apak dan aku berhak memiliki kartu nomor sendiri. Gaya sekali aku. Tak lupa kuberitahu nomorku pada Teh Ibah agar masih bisa berkomunikasi. Teteh menyampirkan doanya untuk keberhasilanku di sana, sementara aku mengamininya dengan khidmat.



Gudang segala silsilah keluarga terdapat pada Mamah. Dengan runtutnya beliau selalu menceritakan segala kejadian menyangkut keluarga besar kami. Saking banyaknya nama, aku kesulitan menghapal alur ceritanya karena memoriku payah sekali.

Suatu hari aku mendapati Mamah tengah sedang dari kejauhan saat aku mengobrol dengan Teteh. Sesekali orang yang kusayangi itu memalingkan wajah, walau akhirnya kembali mengawasi kami. Tak terlalu kupedulikan, karena sebuah prasangka terlalu jahat untuk orang baik yang punya rahim.

            “Teh, sekarang kamu akrab dengan Ibah ya…,” kata Mamah membuka percakapan saat kami tiba di rumah. Aku menoleh padanya dan tersenyum, lalu asyik menatap gambar bergerak-gerak di kotak ajaib bernama televisi sebesar 21 inchi.

“Iya Mah.”

“Hati-hati ya Teh, kamu jaga jarak sama dia.”

Tak kusangka pernyataan seperti itu bakal meluncur dari sosok yang kumuliakan itu. Waktu itu aku cuma terdiam. Aku yakin ibuku mengerti bahwa ini adalah  sikapku meminta penjelasan dan bukan sekedar alasan.

“Dia mengidap penyakit liver, Teh, Mamah hanya khawatir kamu tertular.” Ada nada seorang yang kukenal baik: kecemasan sekaligus rasa cinta seorang ibu. Beliau berkata lembut, walau agak tergetar. Mungkin kekhawatirannya melebihi perkiraanku.

Pikiranku menerawang panjang, jauh merongrong angkasa mungkin sampai menembus Capella. Selayang kenangan masa lalu melintas tak berjeda; bakung, nuansa hitam dan kematian. Pekat sekali menghiasi sejarah keturunan Apakku. Beberapa waktu silam, salah seorang saudara Apak meninggal dunia karena jenis penyakit ini, meninggalkan suami dan keempat buah hatinya. Aku sangat paham aturan bergaul dengan para pengidap penyakit ini. Apa-apa harus terpisah dan dijaga. Mendeskriminasi.

“Mamah cuma minta kamu menjaga jarak pembicaraan dengannya, jangan terlalu intens juga ya.” Aku mengangguk mengerti, membuatnya bernapas lega barang sejenak.



Kegiatanku sebagai seorang mahasiswa tak seindah seperti di sinetron kegemaran adikku. Aku membutuhkan banyak waktu untuk beribadah dengan tenang karena harus bekejaran dengan jadwal perkuliahan, belum lagi tugas-tugas entah itu paper atau persiapan presentasi. Sudah kuabaikan peraturan makan dan istirahat teratur, cuma kuturuti ketika lapar dan capek saja.

Komunikasiku dengan Teh Ibah tak begitu sering. Dulu bisa sampai beberapa kali balasan, kali ini cukup 2-3 kali membalas, setelah itu tenggelam dalam kegiatan masing-masing.

Obrolan kami masih tetap berkisar soal komik, yang baru maupun mini seri. Hanya saja saat aku sedang libur kuliah, obrolan kami kini tak cuma komik.

“Neng, Teteh ingin curhat,” katanya. Aku langsung berbalik menghadapinya dan memasang telinga.

“Ada orang yang suka sama Teteh.”

Senyuman yang berbeda. Terlebih lagi ada sapuan pemerah alami di pipinya. Belum lagi kulihat matanya, kentara sekali aura merah jambu menguat di situ. Aku berseri mendengarnya, aku senang ada yang akhirnya benar-benar melihatmu Teh, batinku.

“Lalu?”

“Ya… kami hanya menjalani begitu saja, padahal sepertinya dia mau serius denganku.”

“Terus? Tidak tantang dia untuk menikah saja?”

“Masih banyak pemikiran menuju ke sana Neng, Teteh juga tahu diri Teteh cuma begini keadaannya,” katanya datar, namun dengan senyum yang anteng mengembang.

“Begini keadaannya bagaimana? Teteh sudah saatnya berumahtangga lho, tak usah merendah begitu,” kataku.

“Yaah, mudah-mudahan Teteh bisa diterima di keluarganya. Kita jalani saja dulu.”

“Mudah-mudahan dipercepat menuju pernikahan,” kataku disela seruan ‘hei!’-nya, “… kita kan tak tahu umur, Teh,” lanjutku sungguh-sungguh, tanpa tahu bahwa kata-kata itu kelak menjadi bumerang besar bagiku. Teh Ibah hanya nyengir dan kembali melayani seorang pembeli yang masuk.



Aktifitasku seperti biasa saja di kampus pendidikan. Tongkronganku hanyalah kos-kantin-kampus, begitu seterusnya. Kalaupun liburan kampus, tetap saja tak seenak udel bisa kupergunakan untuk mudik. Ongkos travel makin naik dan sebaiknya memang memanfaatkan waktu di Yogyakarta.

Dering telepon selulerku menjerit, terdapat nama Rumah di sana. Ah, Mamah memang baik, tahu kesepianku di kos. Kuangkat dan kusapa dengan salam.

“Waalaikumsalam Teh, ngapain?”

“Ga ngapa-ngapain, lagi liburan Mah.”

“Sehat Teh?”

“Iya, sehat. Mamah juga kan?”

“Iya Alhamdulillah. Teh…,” kalimat Mamah menggantung. Aku merasa ada keraguan dalam suaranya.

“Kenapa Mah?”

“Ibah meninggal tadi pagi…”

“Hah?”



Kau ini seperti mawar yang rapuh. Tapi memesona setiap makhluk yang melintasinya, walaupun tak selalu begitu. Aku ingin kau bahagia di alam sana, ditemani dengan yang belum pernah kaumiliki sejauh jantungmu berdegup.

 

Aku berduka karena tak pernah menjumpaimu saat pernikahanmu belum sempat terlaksana.

Aku menyesali mengapa kata-kata ‘umur pendek’ pernah kutujukan padamu, padahal aku tahu dalam setiap ucapan terdapat doa yang menyertainya.

Tapi aku sama sekali tak pernah menyesal bahwa menjadikanmu sebagai rahmatNya adalah perihal yang indah walau hanya sekejap waktu.

 

 

 

 

 

Yogyakarta 28 Juni 2010, 04.15 pm

For The Rose, ingatkah ketika kau menyebutkan judul komik kesukaanmu itu?
Aku benar-benar terhanyut ketika membacanya, sama terhanyutnya ketika aku memaknai sebuah persahabatan bersamamu. Berbahagialah di sana, aku meminta keadilanNya untukmu. Amin.

Diceritakan kembali untuk mengikuti lomba Berbagi Cerita dengan Kata

 
Powered by Blogger.