Sunday, April 18, 2010

Kebersihan: Butuh Reminder dan Kesadaran 3

Kini anak-anak angkatan baru bermunculan, dengan membawa kebiasaan rumah masing-masing kemari. Bak cuci yang sudah dibersihkan, seringkali dikotori kembali oleh pengguna tak bertanggungjawab. Terkadang senior kami juga sampai marah-marah ketika ia membersihkan semuanya (padahal dia juga jarang piket, haha). Teman kos yang mengusulkan piket itu sampai agak tersinggung saat senior kami menyindirnya.
“Hm, kamu ini bikin piket tapi enggak pada dijalanin tuh, kamu mestinya tanggungjawab (atas kekotoran ini) dong,” begitu katanya. Teman saya cuma diam saking mangkelnya dibilang seperti itu. Sebab anak-anak tahu sendiri yang paling getol piket sendiri ya cuma teman saya ini.

Tidak salah seseorang mengadakan penggerakkan niat untuk kebersihan dengan cara piket. Beberapa orang mungkin melakukannya dengan menempel kertas-kertas ‘demo kebersihan’, atau mungkin dengan teguran secara langsung. Bukan berarti orang yang melakukan inisiatif baik tersebut lantas menjadi penanggungjawab utama masalah kebersihan, tapi semua yang terlibat dalam wilayah tersebutlah yang bertanggungjawab untuk memeliharanya. Bukankah mereka hidup berdampingan dan berada dalam satu wilayah?

Sekali lagi masalah kesadaran akan kebersihan masih harus lebih dipahamkan. Saya yakin dalam hati kecil mereka, lingkungan bersih akan sangat-lebih-menyenangkan untuk ditempati alih-alih tempat kotor dengan bau macam-macam di segala penjuru ruangnya.
Dulu saya juga pernah sampai berpikir bahwa anak-anak kos kami ini gila bersih juga… mungkin saya bukan orang superbersih, tapi paling tidak lantai kamar saya tak pernah kotor oleh noda maupun sampah, kecuali buku-buku atau bantal yang berserakan (saya kurang telaten dalam hal kerapian). *hm, jelek-jelek saya jadi ketahuan deh*

Pikiran saya kini lebih berfokus dalam konteks ibadah. Kami tak begitu sering mengunjungi mesjid dan kos kami tak difasilitasi musholla. Maka mau tak mau kamar masing-masinglah yang jadi tempat suci yang senantiasa harus dijaga kebersihannya, terutama dari najis yang seringkali tidak kita ketahui. Belum lagi terkadang teman-teman mengajak sholat berjamaah, otomatis kebersihan kamar kini jadi lebih penting dari mengerjakan tugas kuliah sebab taruhan sah-tidaknya sholat juga dihitung dengan kebersihan tempatnya (masa’ harus pakai koran dulu??).

Yang saya rasakan sekarang ini, bersih-bersih yang semula merupakan ‘paksaan’ saya sendiri, toh terbawa juga sampai rumah. Paling tidak kamar saya harus berlantai bersih sehingga ibadah saya sepenuhnya sah dan tak ada yang perlu dikhawatirkan lagi mengenai najis maupun hal-hal yang bisa membatalkan ibadah. Pokoknya, pada intinya kesadaran masih tahap kritis untuk menuju suatu perubahan. Jadi, jangan mentang-mentang merasa beban karena tak terbiasa melakukan hal yang baik, lantas selamanya tak bakal mengerjakannya.

Sesuatu yang baik seringkali sangat berat dilakukan karena godaan untuk tak mengerjakannya pun tak main-main. Godaan tak main-main beginilah yang membuat timbangan amal menjadi berat berkali lipat ketika kita sanggup mengerjakan hal tersebut. Mungkin cuma kecil di mata kita, tapi akan lebih berarti ketika kita telah ikhlas menjalaninya, sekalipun bermula dari sebuah keterpaksaan. Jadi, mau dimulai kapan lagi selain dari sekarang? Nawaitu Allahumapaksakan…. *heu heu*

Ditulis Oleh : Unknown // 4:51 PM
Kategori:

4 comments:

  1. memang biasanya yg menuju kbaikan itu enggan utk dilaksanakn karena ksannya kurang menarik. padahl.......imbalannya sngt menggiurkn :)

    ReplyDelete
  2. Iya mb hilma, itulah knp kbaikan itu lbh sulit dmulai smentara yg buruk itu mudah djlnkn. Imbalan yg ddapat bnr2 manis saat qt telah biasa mnjalaniny. Mslhny skrg, konsisten jg sulit dijaga kl tdk dmulai & dpaksakn oleh diri sndri.

    ReplyDelete
  3. napa mbak? *menoleh dengan watados-nya*

    ReplyDelete

 
Powered by Blogger.