Wednesday, June 30, 2010

Kafe di Atas Awan 3


            Ruangan sepi senyap walau ada banyak orang yang bekerja. Jadi, kuhampiri langsung meja Mas Padri, si penelepon.

“Ada apa, Mas?” tanyaku hati-hati. Ia melirikku sebentar dan matanya kembali serius menatap layar komputer. Tegang sekali kelihatannya, begitu pula dengan pegawai lainnya. Semenit kemudian aku tahu jawabannya. Seorang lelaki separuh botak melintasi ruang karyawan dengan langkah perlahan bak pengantin pria. Ia merapikan jas putihnya yang sepertinya kebesaran. Matanya tertumbuk melihatku berdiri di samping Mas Padri. Inikah pak direktur itu?

“He kamu! Ngapain berdiri disitu?! Kenapa juga seragammu tak dipakai, ha?! Mau dipecat, ya?!” Aku celingukan, mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru ruangan. Lho, semuanya ‘kan pakai seragam?

“He tengak-tengok kemana kamu?!”

“Ooh saya, Pak?” tanyaku sambil menunjuk diri.

“Siapa lagi?!”

“Tapi saya bukan pegawai, Pak.” Setelah usai kuucapkan kalimat itu, mendadak ekspresinya sedikit melunak. Roman mukanya yang mengeras dihiasinya dengan senyuman.

“Ooh, maafkan saya. Ada yang bisa saya bantu, Dik?” katanya lembut.

“Saya ditelepon Mas Padri, katanya Mas editor ada perlu dengan saya mengenai...”

“Oh, mari, mari! Mari saya antar!” Aku cepat-cepat berjalan mendahuluinya ketika ia hendak meraih pundakku. Ugh, inikah Om direktur itu? Tak bermoral.

            Pintu ruang kerja editor terbuka. Aku masuk dengan sedikit canggung. Ini adalah yang kedua kalinya aku masuk ke ruang editor. Pemula, sih! Seketika itu, dua penghuni ruangan itu, Mas Didit dan Mas Yoga serempak menoleh siapa yang datang. Seperti biasa, Mas Didit tersenyum ramah dan Mas Yoga tetap dengan gaya juteknya yang nyantei. Dua cangkir kopi dan sekaleng besar camilan menemani mereka. Namun ketika mereka melihat siapa yang datang bersamaku, reaksinya berubah total.

            “Oh, Pak direktur. Selamat sore, Pak,” sapa Mas Didit memulai dengan agak tegang. Mas Yoga meliriknya sambil mendengus tak sopan.

“Makasih sudah nganter, Om Ganteng. Silakan keluar dulu,” katanya dengan nada merendahkan yang terdengar jelas. Pak direktur itu kelihatannya ingin menerkamnya bulat-bulat, tapi ia sembunyikan begitu ia melihatku. Ia akhirnya beranjak pergi setelah memperlihatkan taringnya padaku.

“Lagi, Wa?” tanya Mas Didit pelan, tapi senyumnya tak hilang dari bibirnya. Aku mengangguk mengiyakan, kusodorkan naskah yang kukepit padanya.

“Tegas sedikitlah, Wa. Aku jadi gemas lihat kamu diusilin mereka. Disini bahaya selama ‘om ganteng’ itu ada,” Mas Yoga menambahkan tanpa melihatku. Aku meminta maaf.

“Kalo kamu laki-laki, aku nggak bakal secemas ini,” tambahnya sambil menyeruput kopi. Aku berterima kasih padanya. Sejutek-juteknya Mas Yoga, ternyata perhatian juga orangnya.

“Kamu mau pulang sekarang? Kalau nanti, biar kita yang antar. Nanti kusuruh adikku nemenin kita,” Mas Didit menawarkan disertai lirikan singkat milik Mas Yoga. Kukatakan bahwa aku ingin pulang sekarang. Meja Mas Yoga bergeletak, dan memintaku agar ia dan Mas Didit menjagaku sampai pintu masuk kantor. Tak masalah, aku selamat dari cengkeraman “om ganteng”. Ha...ha... Setidaknya ada orang yang bisa kupercaya, kan?



            Maghrib menyapaku sepulangku dari swalayan di dekat kantor. Kuhirup aroma martabak telorku dalam-dalam, nikmat. Di paviliun, kujumpai seorang anak kosku bersama seorang anak kos tetangga.

“Assalamu’alaikum. Mbak ‘Wa, abis beli martabak, ya?” katanya manja sambil mencium punggung tanganku. Aku membalas salamnya segera.

“Iya, kalau mau ambil aja, ya. Nanti sekalian temenmu itu juga...”

“Ah nggak usah, Mbak. Udah makan tadi, kok,” tolak temannya sopan. Serempak, dua penghuni kosku yang lain berhamburan keluar begitu mendengar penawaranku.

“Assalamu’alaikum Mbak. Udah pulang ya? Sini dibawain.” , “Mbak, martabak, ya?”, “Boleh minta satu dong, Mbak?”, “Enak nih!” Aku tertawa senang melihat mereka berebut menolongku membawakan belanjaan. Kuiyakan mereka mengambil martabakku. Kami masuk ke rumah dan terlibat pembicaraan hangat beserta curhat-curhat mereka seputar sekolah.

“Eh Mbak, ada titipan. Ini tadi ada di depan pintu, pas lihat kartunya ternyata buat Mbak.” Anak kos dikepang dua itu menyerahkan seikat bunga mawar merah yang cantik padaku. Aku bertasbih dalam hati.

“Ini nggak salah? Dari siapa?” Kulihat roman mukanya seakan ingin menggodaku lebih jauh. Ia menyikutku perlahan sambil mesem-mesem. Kutinju pelan bahunya dan ia masuk ke kamar sambil tertawa-tawa. Kucari kartunya dan akhirnya kutemukan secarik kertas bercorak indah.

Assalamu’alaikum warahmatullah wabarakatuh. Semoga Allah swt. merahmatimu karena cintamu pada manusia.

            Airmataku menitik di sudut minda, turut bertasbih pada sederet kalimat itu. Demi Allah, ini do’a tercantik untukku yang pernah kutemui. Semoga Allah merahamatimu, batinku penuh haru.

Ditulis Oleh : Unknown // 8:05 AM
Kategori:

0 comments:

Post a Comment

 
Powered by Blogger.